--

-------------------------------

Memahami Makna Ibadah Haji dari berbagai Dimensi

Memahami Makna Ibadah Haji dari berbagai Dimensi

Setiap ibadah dalam Islam memiliki dimensi hablun minallah dan hablun minannas, dimensi hakikat dan syariat. Khusus untuk ibadah haji, terdapat dimensi memahami dan menghayati semua dimensi tersebut.

Secara umum, tujuan pokok ibadah haji sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Haj 27-28, adalah “agar manusia menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan agar mereka mengingat dan menyebut nama Allah”.

Dimensi Sejarah

Melalui ibadah haji, umat Islam dapat menyaksikan secara langsung, tempat-tempat suci dan bersejarah yang merupakan saksi abadi perjalanan hidup dan perjuangan habibullâh Muhammad Saw dan khalilullâh Ibrahim As. Ketika berada di kota Mekah, terbayang dalam imaji kita, tatkala Muhammad lahir dalam keadaan yatim, kemudian tumbuh menjadi remaja dan pemuda di kota suci ini,dan di sekitar Ka’bah ini. Terbayang ketika Muhammad muda yang bijak memadamkan perselisihan yang hampir menyulut peperangan antar suku Arab, karena berebut meletakkan hajar aswad pada tempatnya, memulai dakwah-dakwahnya dalam situasi yang sangat sulit, ditolak, dicemooh, dan dilawan oleh paman-pamannya sendiri, bahkan hendak dibunuh, sampai akhirnya hijrah ke Madinah. Terbayang pula ketika Nabi Muhammad Saw menaklukkan Mekah, beberapa tahun kemudian, dan juru bicaranya mengumumkan kepada penduduk Mekah yang gemetaran menunggu hukuman: “Al-yaum yaumul marhamah - hari ini adalah haari kasih sayang, siapa saja yang masuk Masjidil Haram, ia akan aman dan dilindungi”. Siapa saja, termasuk tokoh-tokoh Musyrikin yang dulu mengusirnya dari Mekah, yang dulu menghalanginya masuk dan beribadah di sekitar Ka’bah. Dengan pengalaman rohaniah seperti ini, akan lahir solidaritas dan tekad yang kuat untuk melanjutkan perjuangan membela Islam, dalam diri seorang haji yang sadar dan mampu mengambil hikmah dari perjalanan hajinya. Lebih jauh melalui manasik haji, umat Islam diajak menghayati pengalaman Nabi Ibrahim As. bersama keluarganya. Ibadah thawaf, shalat di maqam Ibrahim dan hijir Ismail, meminum air zamzam, sa’i, dan lempar jumrah, pada hakekatnya adalah napak tilas kehidupan dan perjuangan Nabi Ibrahim As bersama keluarganya, dalam melaksanakan perintah dan ujian dari Allah Swt. Ibrahim dan keluarganya adalah prototipe pribadi mukmin-muslim sejati, dengan keteguhan imandan kepasrahan iman dan kepasrahan tanpa batas kepada Allah.

Hakekat di Balik Syariat

Agama Islam mengajarkan beberapa nilai yang merupakan sendi pokok dan menjadi landasan bagi peradaban manusia. Antara lain, nilai persamaan, persaudaraan, perdamaian, cinta kebaikan, benci kejahatan, dan ketakwaan kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung Dalam ihram, setiap orang menanggalkan pakaian kesehariannya dan hanya mengenakan pakaian sederhana, baik warna maupun potongannya, semata-mata karena Allah. Ini adalah proklamasi dari persamaan manusia, tidak ada diskriminasi kelas. Dalam ihram ini pula, setiap orang tidak boleh memotong rambutnya, menggunting kukunya, menebang pohon, berburu binatang, dan berbuat sesuatu yang menyakitkan hati orang lain. Bahkan seandainya bertemu dengan pembunuh ayahnya, dia tidak boleh melabrak dan membalas dendamnya. Ini semua merupakan latihan praktis untuk menginternalisasikan nilai-nilai perdamaian, dan dari sisi lain mengingatkan manuasia akan jati dirinya sebagai khalifah Allah yang berkewajiban melindungi makhluk Allah. Dalam thawaf mengitari Ka’bah, seseorang sebenarnya sedang berasyik-masyuk dengan Sang Pencipta. Do’a-do’anya mendaki langit menerawang angkasa. Hatinya merunduk-runduk, menyerah-pasrah, kehariban Yang Maha Kuasa. Tak sesaatpun lepas dari do’a dan permohonan, dengan air mata bercucuran, mengharap anugerah Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Orang-orang yang tidak mengerti berkata bahwa Ka’bah dan Hajar Aswad adalah sia-sia berhala yang dibiarkan tetap ada oleh orang Islam. Kepada mereka kita katakan, bahwa Islam datang untuk memusnahkan keberhalaan dalam segala bentuknya. Semua amalan dalam ibadah haji merupakan pernyataan tauhid dan penyerahan diri semata-mata kepada Allah.

Melakukan sa’i merupakan perlambang dari kesungguhan berusaha dalam mencapai suatu tujuan. Siti Hajar memberikan tauladan, bagaimana ia mencari air untuk anaknya Ismail, 7 kali pulang balik dari bukit Shafa ke Marwah dengan semangat tinggi tak kenal lelah dan putus asa, demi kelangsungan hidup anak yang dicintainya. Dengan hikmah ibadah Sa’i ini diharapkan tdak ada seorang muslim, setelah berasyik-masyuk dengan Al-Khalik Sang Pencipta, lalu melemahkan semangat hidup duniawinya atau hubungan kemasyarakatannya. Wuquf di padang Arafah yang terhampar luas, sangat tepat untuk bermakrifat, mengenal jati diri sebagai hamba Allah yang dhaif berlumur dosa. Padang Arafah tampaknya sebagai miniatur dari padang Mahsyar, Kesadaran yang mendalam terhadap jati diri inilah yang kemudian mendorong para hujjah segera turun ke Muzdalifah guna mengumpulkan senjata berupa batu-batu kerikil untuk melempar musuh utamanya yaitu syetan. Batu-batu kerikil tersebut sengaja diambil pada waktu malam sebagai perlambang bahwa menghadapi syetan itu, kita harus selalu waspada sambil menyembunyikan senjaa dan rahasia kekuatan kita. Lempar jumrah yang dilakukan oleh para hujjah, merupakan perlambang bahwa kekuatan jahat telah berwujud sebagai iblis, dan bahwa seorang yang melakukan ibadah haji telah bersih dari dosa-dosanya seperti paa saat dia dilahirkan. Setelah wuquf di Arafah, dengan kebahagiaan yang memuncak karena limpahan rahmat Allah kepadanya, maka terpaterilah sebuah sikap bahwa Allah lah Pelindungnya dan bahwa syetan lah musuhnya. Gejolak jiwa itu diperlambangkan dengan sejumlah batu yang dilemparkannya ke wajah iblis, guna memperoleh ridha Allah.

Hablun Minallâh dan Hablun Minannâs

Ibadah haji adalah ibadah mahdhah, ang semua manasik atau tata cara peribatannya bersifat baku, mengikuti contoh dan petunjuk dari Rasulullah Saw. Semua manasik yang dijalani dalam haji, sebagaimana juga dalam shalat, adalah untuk dzikrullah (mengingat dan menyebut Allah). Dalam shalat Allah berfirman, “Aqimishshalâta li dzikri”. Dalam haji Allah berfirman, “Liyadzukurullâha fi ayyâmin ma’dudat”. Agar para hujjaj senantiasa dzikrullah, Rasulullah mengajarkan doa-doa untuk setiap langkah dalam haji. Ibadah haji adalah momentum bagi seorang mukmin untuk mengasah kepekaan rohaniahnya sehingga mencapai tingkat keimanan yang sejati. Kesejatian iman itu digambarkan dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat-2:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka,dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal”.

Disamping itu, ibadah haji sarat dengan dimensi hablun minannâs. Di musim haji itulah terselenggara muktamar umat Islam sedunia. Di dalam Muktamar itulah universalitas Islam dan pluralitas umat Islam mewujud dengan nyata. Di sekeliling Ka’bah, di padang Arafah, atau di sekitar jamarat, berbaur umat muhammad dari berbagai negeri yang berbeda-beda kebangsaan, kesukuan, warna kulit, budaya, adat-istiadat, mazhab keagamaan, dan beragam strata sosial, tapi mereka menyatu dalam talbiyah, menyatu dalam takbir, tahmid, tasbih, istigfar, dan doa-doa.

Di sinilah nilai-nilai persamaan, ukhuwah, solidaritas, îtsâr, dan tasâmuh, antara saudara seiman sedang diujikan. Maka setiap tamu Allah, yang sedang dijamu di rumah-Nya yang suci, wajib memasang niat untuk mengokohkan silaturahim dengan sesama umat muhammad dari berbagai penjuru dunia. Untuk itu pertama-tama harus ditanamkan husnu zhan dan dipinggirkan su’u zhan. Image tentang saudara Afrika kita yang katanya kasar dan brutal, saudara Turki kita yang katanya suka main tabrak, saudara Pakistan kita yang katanya suka minta uang, para sopir yang katanya suka menipu dan minta bakhsis, hendaklah kita buang jauh-jauh. Kebaikan bukanlah monopoli suatu bangsa. Kalau kita berbaik sangka, insyaallah kita aka dipertemukan dengan yang baik-baik. “Seusai shalat dhuhur, di sebuah tangga turun dari tingkat dua Masjidil Haram, seorang ibu Indonesia yang bertubuh kecil jatuh di sebuah anak tangga, di tengah himpitan jamaah wanita Turki yang bertubuh besar. Tapi sebuah pemandangan menakjubkan seera terlihat. Ibu-ibu turki yang selalu kompak itu secara spontan membentuk sebuah lingkaran untuk melindungi, dan salah seorang dari mereka mengangkat ibu yang jatuh tadi. Setelah aman sampai lantai dasar, dengan mengucapkan syukur alhamdulillah,mereka bergantian menciumi dengan penuh kasih ibu Indonesia yang mereka tolong tadi. Mereka tidak saling mengenal secara pribadi. Tapi mereka merasa sebagai sesama manusia meskipun berbeda kebangsaan, apalagi sesama orang beriman yang mengikrarkan dua kalimat syahadat”.
Selengkapnya...