--

-------------------------------

Memahami Makna Ibadah Haji dari berbagai Dimensi

Memahami Makna Ibadah Haji dari berbagai Dimensi

Setiap ibadah dalam Islam memiliki dimensi hablun minallah dan hablun minannas, dimensi hakikat dan syariat. Khusus untuk ibadah haji, terdapat dimensi memahami dan menghayati semua dimensi tersebut.

Secara umum, tujuan pokok ibadah haji sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Haj 27-28, adalah “agar manusia menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan agar mereka mengingat dan menyebut nama Allah”.

Dimensi Sejarah

Melalui ibadah haji, umat Islam dapat menyaksikan secara langsung, tempat-tempat suci dan bersejarah yang merupakan saksi abadi perjalanan hidup dan perjuangan habibullâh Muhammad Saw dan khalilullâh Ibrahim As. Ketika berada di kota Mekah, terbayang dalam imaji kita, tatkala Muhammad lahir dalam keadaan yatim, kemudian tumbuh menjadi remaja dan pemuda di kota suci ini,dan di sekitar Ka’bah ini. Terbayang ketika Muhammad muda yang bijak memadamkan perselisihan yang hampir menyulut peperangan antar suku Arab, karena berebut meletakkan hajar aswad pada tempatnya, memulai dakwah-dakwahnya dalam situasi yang sangat sulit, ditolak, dicemooh, dan dilawan oleh paman-pamannya sendiri, bahkan hendak dibunuh, sampai akhirnya hijrah ke Madinah. Terbayang pula ketika Nabi Muhammad Saw menaklukkan Mekah, beberapa tahun kemudian, dan juru bicaranya mengumumkan kepada penduduk Mekah yang gemetaran menunggu hukuman: “Al-yaum yaumul marhamah - hari ini adalah haari kasih sayang, siapa saja yang masuk Masjidil Haram, ia akan aman dan dilindungi”. Siapa saja, termasuk tokoh-tokoh Musyrikin yang dulu mengusirnya dari Mekah, yang dulu menghalanginya masuk dan beribadah di sekitar Ka’bah. Dengan pengalaman rohaniah seperti ini, akan lahir solidaritas dan tekad yang kuat untuk melanjutkan perjuangan membela Islam, dalam diri seorang haji yang sadar dan mampu mengambil hikmah dari perjalanan hajinya. Lebih jauh melalui manasik haji, umat Islam diajak menghayati pengalaman Nabi Ibrahim As. bersama keluarganya. Ibadah thawaf, shalat di maqam Ibrahim dan hijir Ismail, meminum air zamzam, sa’i, dan lempar jumrah, pada hakekatnya adalah napak tilas kehidupan dan perjuangan Nabi Ibrahim As bersama keluarganya, dalam melaksanakan perintah dan ujian dari Allah Swt. Ibrahim dan keluarganya adalah prototipe pribadi mukmin-muslim sejati, dengan keteguhan imandan kepasrahan iman dan kepasrahan tanpa batas kepada Allah.

Hakekat di Balik Syariat

Agama Islam mengajarkan beberapa nilai yang merupakan sendi pokok dan menjadi landasan bagi peradaban manusia. Antara lain, nilai persamaan, persaudaraan, perdamaian, cinta kebaikan, benci kejahatan, dan ketakwaan kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung Dalam ihram, setiap orang menanggalkan pakaian kesehariannya dan hanya mengenakan pakaian sederhana, baik warna maupun potongannya, semata-mata karena Allah. Ini adalah proklamasi dari persamaan manusia, tidak ada diskriminasi kelas. Dalam ihram ini pula, setiap orang tidak boleh memotong rambutnya, menggunting kukunya, menebang pohon, berburu binatang, dan berbuat sesuatu yang menyakitkan hati orang lain. Bahkan seandainya bertemu dengan pembunuh ayahnya, dia tidak boleh melabrak dan membalas dendamnya. Ini semua merupakan latihan praktis untuk menginternalisasikan nilai-nilai perdamaian, dan dari sisi lain mengingatkan manuasia akan jati dirinya sebagai khalifah Allah yang berkewajiban melindungi makhluk Allah. Dalam thawaf mengitari Ka’bah, seseorang sebenarnya sedang berasyik-masyuk dengan Sang Pencipta. Do’a-do’anya mendaki langit menerawang angkasa. Hatinya merunduk-runduk, menyerah-pasrah, kehariban Yang Maha Kuasa. Tak sesaatpun lepas dari do’a dan permohonan, dengan air mata bercucuran, mengharap anugerah Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Orang-orang yang tidak mengerti berkata bahwa Ka’bah dan Hajar Aswad adalah sia-sia berhala yang dibiarkan tetap ada oleh orang Islam. Kepada mereka kita katakan, bahwa Islam datang untuk memusnahkan keberhalaan dalam segala bentuknya. Semua amalan dalam ibadah haji merupakan pernyataan tauhid dan penyerahan diri semata-mata kepada Allah.

Melakukan sa’i merupakan perlambang dari kesungguhan berusaha dalam mencapai suatu tujuan. Siti Hajar memberikan tauladan, bagaimana ia mencari air untuk anaknya Ismail, 7 kali pulang balik dari bukit Shafa ke Marwah dengan semangat tinggi tak kenal lelah dan putus asa, demi kelangsungan hidup anak yang dicintainya. Dengan hikmah ibadah Sa’i ini diharapkan tdak ada seorang muslim, setelah berasyik-masyuk dengan Al-Khalik Sang Pencipta, lalu melemahkan semangat hidup duniawinya atau hubungan kemasyarakatannya. Wuquf di padang Arafah yang terhampar luas, sangat tepat untuk bermakrifat, mengenal jati diri sebagai hamba Allah yang dhaif berlumur dosa. Padang Arafah tampaknya sebagai miniatur dari padang Mahsyar, Kesadaran yang mendalam terhadap jati diri inilah yang kemudian mendorong para hujjah segera turun ke Muzdalifah guna mengumpulkan senjata berupa batu-batu kerikil untuk melempar musuh utamanya yaitu syetan. Batu-batu kerikil tersebut sengaja diambil pada waktu malam sebagai perlambang bahwa menghadapi syetan itu, kita harus selalu waspada sambil menyembunyikan senjaa dan rahasia kekuatan kita. Lempar jumrah yang dilakukan oleh para hujjah, merupakan perlambang bahwa kekuatan jahat telah berwujud sebagai iblis, dan bahwa seorang yang melakukan ibadah haji telah bersih dari dosa-dosanya seperti paa saat dia dilahirkan. Setelah wuquf di Arafah, dengan kebahagiaan yang memuncak karena limpahan rahmat Allah kepadanya, maka terpaterilah sebuah sikap bahwa Allah lah Pelindungnya dan bahwa syetan lah musuhnya. Gejolak jiwa itu diperlambangkan dengan sejumlah batu yang dilemparkannya ke wajah iblis, guna memperoleh ridha Allah.

Hablun Minallâh dan Hablun Minannâs

Ibadah haji adalah ibadah mahdhah, ang semua manasik atau tata cara peribatannya bersifat baku, mengikuti contoh dan petunjuk dari Rasulullah Saw. Semua manasik yang dijalani dalam haji, sebagaimana juga dalam shalat, adalah untuk dzikrullah (mengingat dan menyebut Allah). Dalam shalat Allah berfirman, “Aqimishshalâta li dzikri”. Dalam haji Allah berfirman, “Liyadzukurullâha fi ayyâmin ma’dudat”. Agar para hujjaj senantiasa dzikrullah, Rasulullah mengajarkan doa-doa untuk setiap langkah dalam haji. Ibadah haji adalah momentum bagi seorang mukmin untuk mengasah kepekaan rohaniahnya sehingga mencapai tingkat keimanan yang sejati. Kesejatian iman itu digambarkan dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat-2:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka,dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal”.

Disamping itu, ibadah haji sarat dengan dimensi hablun minannâs. Di musim haji itulah terselenggara muktamar umat Islam sedunia. Di dalam Muktamar itulah universalitas Islam dan pluralitas umat Islam mewujud dengan nyata. Di sekeliling Ka’bah, di padang Arafah, atau di sekitar jamarat, berbaur umat muhammad dari berbagai negeri yang berbeda-beda kebangsaan, kesukuan, warna kulit, budaya, adat-istiadat, mazhab keagamaan, dan beragam strata sosial, tapi mereka menyatu dalam talbiyah, menyatu dalam takbir, tahmid, tasbih, istigfar, dan doa-doa.

Di sinilah nilai-nilai persamaan, ukhuwah, solidaritas, îtsâr, dan tasâmuh, antara saudara seiman sedang diujikan. Maka setiap tamu Allah, yang sedang dijamu di rumah-Nya yang suci, wajib memasang niat untuk mengokohkan silaturahim dengan sesama umat muhammad dari berbagai penjuru dunia. Untuk itu pertama-tama harus ditanamkan husnu zhan dan dipinggirkan su’u zhan. Image tentang saudara Afrika kita yang katanya kasar dan brutal, saudara Turki kita yang katanya suka main tabrak, saudara Pakistan kita yang katanya suka minta uang, para sopir yang katanya suka menipu dan minta bakhsis, hendaklah kita buang jauh-jauh. Kebaikan bukanlah monopoli suatu bangsa. Kalau kita berbaik sangka, insyaallah kita aka dipertemukan dengan yang baik-baik. “Seusai shalat dhuhur, di sebuah tangga turun dari tingkat dua Masjidil Haram, seorang ibu Indonesia yang bertubuh kecil jatuh di sebuah anak tangga, di tengah himpitan jamaah wanita Turki yang bertubuh besar. Tapi sebuah pemandangan menakjubkan seera terlihat. Ibu-ibu turki yang selalu kompak itu secara spontan membentuk sebuah lingkaran untuk melindungi, dan salah seorang dari mereka mengangkat ibu yang jatuh tadi. Setelah aman sampai lantai dasar, dengan mengucapkan syukur alhamdulillah,mereka bergantian menciumi dengan penuh kasih ibu Indonesia yang mereka tolong tadi. Mereka tidak saling mengenal secara pribadi. Tapi mereka merasa sebagai sesama manusia meskipun berbeda kebangsaan, apalagi sesama orang beriman yang mengikrarkan dua kalimat syahadat”.
Selengkapnya...

Surga Bagi Manusia

Allah menyediakan neraka dan surga bagi manusia.

Seorang calon penghuni surga akan di tunjukkan Allah bagaimana keadaan di dalam neraka.

Kemudian di katakanlah kepadanya : “ Nah,lihatlah ! Di neraka inilah tempatmu berada jika engkau kufur kepada Tuhan dan mengingkari semua perintah-Nya.Tetapi karena engkau telah lulus dalam ujian,maka engkau berhak mendapat tempat di surga.”

Setelah melihat keadaan di dalam neraka, calon penghuni surga itu akan ditunjukan bagaimana keadaan di surga.

Alangkah gembiranya ia ketika melihat keindahan surga dan bersyukurlah ia atas hidayah yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya sehingga ia dapat meraih kenikmatan di surga itu.

Sebaliknya, seorang calon penghuni neraka juga akan ditunjukan tempat yg sebenarnya di sediakan untuknya di surga

Namun,karena ia kufur dan ingkar,bukanlah surga yangdidapatnya,melainkan neraka.Alangkah kecewa dirinya.Tetapi kekecewaan itu sudah terlambat sehingga apa yg di kecewakan itu sudah tidak berguna lagi !

Karena nasib tidak dapat berubah maka penyesalanlah yg akan mengempur dirinya selama dalam penantian menunggu jatuhnya hukuman Allah kepadanya.

Surga di pagari tembok ujian dan duri cobaan.Hanya orang yang memiliki keteguhan dan ketahanan hati dalam menempuh ujian itu yang dapat memasuki surga itu.

Sementara orang-orang yang terus menghamburkan hawa nafsunya dan lalai dari amalan akhirat yang akan terseret ke lubang neraka.Itulah tempat terburuk yang kelak ditempuhnya.Di neraka itu penyesalan tidak berguna lagi.

Nabi Besar Muhammad Saw.pernah bersabda : “ Manusia itu sedang tidur nyenyak,ia akan sadar apabila kematian datang!”.

Alangkah malangnya orang yang baru menyadari kesalahannya setelah kematian menjemputnya! Mengapa ia tidak segera menyadari kesalahannya sebelum maut itu datang? Semua amalan perbuatan patut di persiapkan sebelum mereka berangkat menuju Allah. Apabila segala persiapan itu dilalaikan oleh manusia maka mereka akan menyesal nantinya .

Pada hakekatnya manusia adalah fakir miskin.Hanya Alah yang maha kaya,yang menguasai segala kekayaan dunia akhirat.

Orang yang fakir hendaklah menahan diri dari segala Ghairullah,karena Allah adalah pencipta dan pelindung baginya. Allah adalah tempat ia meminta dan tempat ia kembali. Karena itu, lepaskanlah hawa nafsumu dari Ghairullah agar engkau mudah mendapatkan cahaya Allah. Di sanalah engkau akan mendapati dirimu yg ditunggui oleh Allah, disambut oleh Allah, dan diliputi api kecintaan Allah.

Di sana malaikat-Nya akan mengiringi dan mendampingi para hamba Allah yang saleh, para shidiq, dan para syahid. Engkau akan ditemani para Nabi dan Rasul-Nya dalam majelis Hazhiratul quds-Nya, wallahu-a’lam.

( Syeikh Abdul Qadir al-Jailani ).

Selengkapnya...

Mari Bayar Zakat Fitrah Yuuck.....

Hukum Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah wajib atas setiap muslim dan muslimah. Berdasar hadits berikut, Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. telah memfardhukan (mewajibkan) zakat fitrah satu sha’ tamar atau satu sha’ gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, baik kecil maupun tua dari kalangan kaum Muslimin; dan beliau menyuruh agar dikeluarkan sebelum masyarakat pergi ke tempat shalat ‘Idul Fitri.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III :367 no:1503, Muslim II: 277 no:279/984 dan 986, Tirmidzi II : 92 dan 93 no: 670 dan 672, ‘Aunul Ma’bud V:4-5 no: 1595 dan 1596, Nasa’i V:45, Ibnu Majah I: 584 no:1826 dan dalam Sunan Ibnu Majah ini tidak terdapat “WA AMARA BIHA…”).
Hikmah Zakat Fitrah

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan yang kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum (selesai) shalat ‘id, maka itu adalah zakat yang diterima (oleh Allah); dan siapa saja yang mengeluarkannya sesuai shalat ‘id, maka itu adalah shadaqah biasa, (bukan zakat fitrah).” (Hasan : Shahihul Ibnu Majah no: 1480, Ibnu Majah I: 585 no: 1827 dan ‘Aunul Ma’bud V: 3 no:1594).

Siapakah Yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah

Yang wajib mengeluarkan zakat fitrah ialah orang muslim yang merdeka yang sudah memiliki makanan pokok melebihi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya untuk sehari semalam. Di samping itu, ia juga wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, seperti isterinya, anak-anaknya, pembantunya, (dan budaknya), bila mereka itu muslim, anak yang masih dalam kandungan tidak menjadi berkewajiban berzakat melainkan jika sudah lahir.

Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. pernah memerintah (kita) agar mengeluarkan zakat untuk anak kecil dan orang dewasa, untuk orang merdeka dan hamba sahaya dari kalangan orang-orang yang kamu tanggung kebutuhan pokoknya.” (Shahih : Irwa-ul Ghalil no: 835, Daruquthni II:141 no: 12 dan Baihaqi IV: 161).

Besarnya Zakat Fitrah

Setiap individu wajib mengeluarkan zakat fitrah sebesar setengah sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ kismis, atau satu sha’ gandum (jenis lain) atau satu sha’ susu kering, atau yang semisal dengan itu yang termasuk makanan pokok, misalnya beras, jagung dan semisalnya yang termasuk makanan pokok.

Besar zakat yang dikeluarkan menurut para ulama adalah sesuai penafsiran terhadap hadits adalah sebesar satu sha' atau kira-kira setara dengan 3,5 liter atau 2.5 kg makanan pokok (tepung, kurma, gandum, aqith) atau yang biasa dikonsumsi di daerah bersangkutan (Mazhab syafi'i dan Maliki)[1]

Waktu Pengeluaran Zakat Fitrah dikeluarkan pada bulan Ramadhan, paling lambat sebelum orang-orang selesai menunaikan Shalat Ied. Jika waktu penyerahan melewati batas ini maka yang diserahkan tersebut tidak termasuk dalam kategori zakat melainkan sedekah biasa.

Adapun bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan setengah sha’ gandum, didasarkan pada hadits dari ‘Urwah bin Zubair r.a., (ia bertutur), “Bahwa Asma’ binti Abu Bakar r.a. biasa mengeluarkan (zakat fitrah) pada masa Rasulullah saw., untuk keluarganya yaitu orang yang merdeka di antara mereka dan hamba sahaya – dua mud gandum, atau satu sha’ kurma kering dengan menggunakan mud atau sha’ yang biasa mereka mengukur dengannya makanan pokok mereka.” (ath-Thahawai II:43 dan lafadz ini baginya).

Adapun bolehnya mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ selain gandum yang dimaksud di atas, mengacu kepada hadits dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata, “Kami biasa mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ makanan, atau satu sha’ gandum (jenis lain), atau satu sha’ kurma kering, atau satu sha’ susu kering, atau satu sha’ kismis. (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III:371 no: 1506, Muslim II:678 no:985, Tirmizi II: 91 no :668, ‘Aunul Ma’bud V:13 no:1601, Nasa’i V:51 dan Ibnu Majah I:585 no:1829).

Dalam Syarah Muslim VII:60 Imam Nawawi menegaskan, “Menurut mayoritas fuqaha tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya (bukan berupa makanan pokok).”

Menurut hemat penulis sendiri, pendapat Imam Abu Hanifah r.a. yang membolehkan mengeluarkan zakat dengan harganya tertolak, karena ayat Qur’an mengatakan yang artinya, “Dan Rabbmu tidak pernah lupa.” (Maryam : 64).

Andaikata mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya atau uang dibolehkan dan dianggap mewakili, sudah barang tentu Allah Ta’ala dan Rasul-Nya menjelaskannya. Oleh karena itu, kita wajib mencukupkan diri dengan zhahir nash-nash syar’I, tanpa memalingkan (maknanya) dan tanpa pula memaksakan diri untuk mentakwilkan.

Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah

Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. pernah memerintah (kami) agar zakat fitrah dikeluarkan sebelum orang-orang berangkat ke tempat shalat “Idul Fitri”. (Takhrij haditsnya lihat pembahasan Hukum Zakat Fitrah, beberapa halaman sebelumnya).

Bagi yang punya, boleh mengeluarkan zakat fitrah satu atau dua hari sebelum ‘Idul Fitri. Sebab ada riwayat dari Nafi’, berkata, “Adalah Ibnu Umar r.a. menyerahkan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak menerimanya; dan kaum Muslim yang wajib mengeluarkan zakat mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum ‘Idul Fitri.” (Shahih : Fathul Bari III:375 no:1511).

Haram menunda pengeluaran zakat fitrah hingga di luar waktunya, tanpa adanya udzur syar’i. Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah saw. telah memfardhukan zakat fitrah (atas kaum Muslimin) sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya seusai shalat ‘Idul Fitri’, maka dari itu termasuk shadaqah biasa.” (Nash hadits ini sudah termaktub dalam pembahasan Hikmah Zakat Fitrah).

Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah

Zakat Fitrah hanya dialokasikan kepada orang-orang miskin saja. Ini didasarkan pada Sabda Nabi saw. yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas r.a., “Sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (Teks Arabnya termuat dalam pembahasan Hikmah Zakat Fitrah).

Shadaqah Tathawwu’

Sangat dianjurkan memperbanyak shadaqah tathawwu’, (shadaqah sunnah). Berdasar firman Allah SWT, “Perumpamaan (infak yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah:261).

Juga berdasarkan sabda Nabi saw., “Tidak ada suatu ketika segenap hamba berada di pagi hari melainkan dua puluh malaikat akan turun lalu salah seorang di antara keduanya berkata, Ya Allah berilah ganti kepada orang tersebut berinfak itu, dan yang lain berdo’a (juga), Ya Allah berilah kerusakan kepada orang yang enggan berinfak itu)." (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III:304 no: 1442 dan Muslim II : 700 : 1010).

Dan orang yang paling utama memperoleh shadaqah ialah keluarganya dan kerabatnya. Rasulullah saw. menegaskan, “Sedekah yang diberikan kepada orang miskin adalah berfungsi sebagai shadaqah, sedang yang diberikan kepada kerabat (mempunyai) dua fungsi; sebagai shadaqah dan sebagai silaturrahmi (penyambung hubungan rahim)." (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no : 3835 dan Tirmidzi II: 84 no: 653).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 448 – 453.
Selengkapnya...

Pembahasan Membayar Fidyah Puasa Ramadhan

Bagaimana mengantisipasi ibadah wajib Ramadhan bagi ibu Hamil dan Menyusui serta bagi anda yang tidak dapat berpuasa karena ada halangan tertentu seperti sakit, lanjuat usia dsb?

Ada beberapa dalil yang mengkuatkan untuk bayar fidyah serta mengganti puasa, atau bayar fidyah saja. semua dengan dalil-dalilnya masing2. Namun, dalam hal ini, pendapatku sekarang sudah mengkerucut untuk mengikuti dalil: untuk bayar fidyah saja, (cari sendiri ya dalilnya, gak sempat di upload nih), tetapi kalau emang sanggup puasa, bayarlah dengan puasa. Tapi, kalau tidak, cukup bayar fidyah saja.


Setidaknya, saya punya beberapa argumentasi, mengapa diutamakan bayar fidyah saja, setidaknya ini pengalaman pribadi:
Kondisi ibu hamil dan menyusui, merupakan kondisi yang “susah”, dalam al-qur’an wahnan ‘ala wahnin. sakitnya bertambah payah.. tidak mungkin baginya berpuasa, kalau sekiranya dia tidak sanggup berpuasa, maka tidak wajib baginya berpuasa. makanya, islam meringankan perempuan dalam kondisi dimaksud.
Hamil itu dalam jangka waktu yang lama yaitu 9 bulan (40 minggu). setelah hamil, maka perempuan itu akan melahirkan dan menyusui selama 2 tahun. dimana, kalau hamil dan menyusui, akan ada perasaan lapar yang tak dapat ditahan oleh perempuan itu. maka, tidak wajib baginya berpuasa.
Nah, kalau dibeban kepadanya mengganti puasa, akan ada waktu 3 tahun setelah itu, si ibu tadi baru bisa mengganti puasa. Bagaimana kalau tidak ada umur? bagaimana kalau si ibu tadi sakit? bagaimana kalau si ibu tadi hamil lagi? hamil lagi sampai anak ke-4? perlu waktu 3×4 = 12 tahun baru dia bisa membayar dengan mengganti puasa. tentunya itu sangat memberatkan… Kasihan benar nasib perempuan, dan rasa-rasanya islam tidak begitu dalam mengatur manusia. Untuk itulah, pembayaran melalui fidyah lebih di utamakan daripada mengganti puasa. Supaya perempuan dapat menjalankan ibadah puasa Ramadhan ini, karena dia menjalankan tugas kemanusiaanya dalam bentuk lain.

Membayar dengan fidyah, tidak hanya untuk perempuan hamil dan menyusui, tetapi juga kepada orang tua (baik laki-laki atau perempuan) yang tidak sanggup lagi berpuasa, serta orang yang mengalami penyakit kronis dan menahun.

Berapa jumlah fidyah yang harus dibayar? Islam menyampaikan untuk membayar fidyah 1 mod (1/2 liter) beras. Berapa harga beras 1/2 liter sekarang ini? boleh diganti dengan uang. Kalau kita mau melebihkan, tidak ada masalah. Jadi, jumlah ini, tidak memberatkan kepada perempuan dari golongan manapun.

Kemana fidyah disampaikan? ke tetangga di sekitarmu terlebih dahulu. kapan fidyah dibayarkan? segera dibayarkan setelah kemampuan. Fidyah ini, tidak menghambat/menjadi halangan bagi perempuan apakah ketika dia lagi hamil atau masih dalam masa menyusui dia membayarnya. Tidak ada halangan waktu.

Begitulah, menurut pendapat saya, lebih di utamakan membayar fidyah daripada mengganti puasa bagi ibu hamil dan menyusui. Kalau ibu tadi mau mengganti dengan puasa? yah, tidak ada masalah jika dia mampu, dan ini juga tidak wajib. Tetapi dengan dia sudah membayar fidyah, kewajiban puasa tidak di bebankan kepadanya.

sst, jangan sampai, kita tidak melakukan apa-apa, karena kita tidak sempat membayar fidyah dan tidak juga mengganti puasa. alangkah meruginya kita perempuan. Pernah, suatu hari saya bertanya pada saudara perempuan, “udah ganti puasa pas hamil atau menyusui dulu belum?, dia menjawab “belum”. Padahal saat ini, kondisinya sudah tidak lagi dalam keadaan hamil dan menyusui, anak sudah besar-besar.

Diatas apapun, Islam agama yang sempurna. Tidak ada kata selain itu. Wallahu alam bissawab.
Selengkapnya...

Puasa Sehat bagi Penderita Diabetes

DIABETES bukan penghalang untuk menjalani ibadah puasa. Tentunya jika diabetes terkontrol dengan baik. Hal ini disampaikan oleh dr. Kasim Rasjidi, SpPD, dari rumah sakit Asri, dalam seminar bertema sehat berpuasa bagi penderita diabetes di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Puasa, terang Kasim, sangat bermanfaat bagi kesehatan. Puasa berfungsi untuk membersihkan racun-racun dari dalam tubuh, meremajakan tubuh, menurunkan berat badan, memurnikan pikiran, mencegah penuaan, dan membuat hidup lebih gembira. Dengan berpuasa, lanjut Kasim, pola makan akan menjadi lebih teratur, kebiasaan merokok terkurangi, pikiran menjadi lebih tenang dan jauh dari stres.

Bagaimana dengan pengidap diabetes? Menurut Kasim, manfaat puasa juga bisa dirasakan oleh pengidap diabetes."Tetapi pastikan dulu mengontrol diabetes tersebut." Diabetes dikatakan terkontrol, terang Kasim, apabila dengan terapi obat tertentu kadar gula darah bisa berada pada rentang normal (70-100 saat puasa). Sedang mereka yang masih

mencoba-coba obat tertentu untuk menormalkan gula darah, berarti belum terkontrol.

Selain itu, terang dia, yang tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan jumlah asupan kalori dan sumber asupan kalori. Sumber kalori, menurut dia, sebaiknya dipilih lebih banyak dari makanan yang mudah dicerna, seperti sayur dan buah."Sayur dan buah bisa diserap dengan baik dalam waktu 15 menit dan menyediakan energi bagi tubuh."

Ia juga mengatakan bahwa pengidap diabetes dianjurkan untuk melakukan latihan puasa sebelum menjalani ibadah puasa."Cara ini bisa membantu menemukan dan menyesuaikan jenis terapi insulin dan dosis yang tepat."

Hipoglikemia dan hiperglikemia

Saat ditanya kemungkinan hipoglikemia (kadar gula darah rendah, kurang dari 60) dan hiperglikemia (kadar gula darah tinggi), Kasim menuturkan kalau pasien diabetes lebih baik mengalami sedikit kenaikan kadar gula darah (di bawah 200) dibandingkan hipoglikemia. Hipoglikemia, terang dia, akan menyebabkan otak kekurangan energi dalam menjalankan fungsinya."Hal ini bisa menyebabkan kerusakan otak yang tidak bisa dipulihkan."

Hipoglikemia, terang dia, ditandai dengan tubuh gemetar, keringat dingin, dan lemas. Dan jika ini terjadi, terang dia, pastikan pasien diabetes segera mengonsumsi makanan yang mengandung gula untuk mendongkrak kadar gula darah. Bagaimana dengan hiperglikemia? Hiperglikemia, menurut dia, ditandai dengan sering buang air kecil akibat glukosa yang menarik cairan dari tubuh."Hal ini juga harus cepat ditangani."

Kasim juga menganjurkan agar pengidap diabetes tetap berolahraga. Olahraga ini, menurut dia, ada baiknya dilakukan sebelum berbuka puasa."Menjelang berbuka biasanya badan akan terasa lebih segar."

Intinya, terang Kasim, pasien diabetes bisa menjalani ibadah puasa setelah memastikan diabetes mereka terkontrol dengan baik."Pasien diabetes sebaiknya sudah terkontrol 2 minggu sebelum menjalani ibadah puasa." (OL-08)



Selengkapnya...

Puasa Sehat bagi Penderita Maag

Penderita maag yang ingin menjalankan puasa tidak perlu khawatir penyakitnya itu kambuh sehingga terganggu. Bahkan, puasa yang baik justru bermanfaat dan bisa menyembuhkan sakit maag secara total. Demikian dikatakan dr H Ari Fahrial Syam dari Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, di Jakarta, Rabu (19/8).

Ia menjelaskan, maag atau dispepsia pada dasarnya merupakan gangguan pencernaan yang menyebabkan rasa nyeri atau tidak nyaman pada daerah ulu hati. Menurut, jenis dispepsia terbagi menjadi dua yakni dispepsia fungsional dan organik.

Pada dispepsia organik, terjadi kelainan endoskopi, misalnya tukak kerongkongan, tukak lambung atau usus dua belas jari. Sementara pada dispepsia fungsional, endoskopi masih normal. Masih menurut dr Ari, masalah sebagian besar penderita dispepsia yang dijumpai saat ini adalah yang fungsional.

Faktor-faktor penyebab dispepsia golongan fungsional ini antara lain muncul karena penderita makan tidak teratur, kebiasaan makan camilan berlemak tinggi, minum kopi/ minuman bersoda, merokok, termasuk masalah psikologis (stres).

Pengaturan makanan yang baik pada saat berpuasa akan memperbaiki pola pencernaan itu. Jadi, dapat disimpulkan, dispepsia fungsional akan membaik atau bahkan sembuh total ketika berpuasa.

"Semua penderita maag yang fungsional bisa berpuasa, tentu dengan tetap memperhatikan konsumsi makan dan minumnya," jelas dr Ari. Namun, ada "pantangan" makanan yang perlu diperhatikan penderita maag agar puasa justru membawa berkah positif dan bukan sebaliknya.

Berikut beberapa asupan makanan yang perlu dihindari para penderita sakit maag dalam menjalankan ibadah puasa.

1. Makanan yang banyak mengandung gas, antara lain sawi, kol, nangka, pisang ambon, kedondong, minuman bersoda.

2. Makanan yang sulit dicerna, yang akan memperlambat pengosongan lambung antara lain kue tart dan keju.

3. Makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung berlebih antara lain kopi, minuman beralkohol, anggur putih, sari buah sitrus, susu full cream.

4. Makanan yang secara langsung merusak dinding lambung, antara lain cuka, berbumbu pedas, makanan mengandung merica.

5. Makanan yang melemahkan klep kerongkongan antara lain alkohol, coklat, gorengan.

6. Sumber karbohidrat, seperti beras ketan, mie, bihun, ubi singkong, talas, atau dodol.



Selengkapnya...

Tips Sehat Puasa di Bulan Ramadhan

Menjalankan ibadah puasa adalah sebuah kewajiban bagi umat muslim, namun jika ditilik dari sisi kesehatan dibalik nilai ibadah dari ritus yang dijalankan sebulan penuh tiap tahun ini, juga tersimpan banyak manfaat. Tapi tentu saja jika itu dijalankan dengan aturan yang benar dan tidak asal-asalan. Bagaimana memadukan antara ibadah dan mendapatkan manfaat bagi kesehatan kita, berikut 6 tips menjalankan puasa sehat:

1. Jangan Tinggalkan Sahur
Sahur merupakan salah satu rangkaian dalam ibadah puasa Ramadhan yang sangat disarankan, dalam sebuah Hadist disebutkan bahwa "Bersabda Rasulullah SAW: "Sahurlah kamu, karena dalam sahur itu terdapat berkah yang besar". Kenapa sahur penting bagi kita yang menjalankan puasa?, Saat menjalankan puasa tubuh kita tidak mendapatkan asupan gizi kurang lebih selama 14 jam. Untuk itu supaya tubuh dapat menjalankan fungsi dengan baik, sel-sel tubuh membutuhkan gizi dan energi dalam jumlah cukup. Untuk menu sahur sebaiknya pilih makanan berserat dan berprotein tinggi, tapi
hindari terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang manis-manis.

Banyak makan makanan manis disaat sahur akan membuat Anda cepat lapar di siang hari. Makanan manis membuat tubuh bereaksi melepaskan insulin secara cepat, insulin berfungsi memasukkan gula dari dalam darah ke dalam sel-sel tubuh dan digunakan sebagai sumber energi. Sedangkan makan makanan berserat membuat proses pencernaan lebih lambat dan membantu insulin dikeluarkan secara bertahap. Untuk membuat energi dari sahur tahan lama, bersahurlah lebih akhir saat mendekati imsak.

2. Jangan Tunda Berbuka
Setelah seharian menahan lapar dan dahaga tentunya energi kita terkuras, untuk memulihkan energi kembali, saat berbuka makanlah karbohidrat sederhana yang terdapat dalam makanan manis. Makanan yang mengandung gula mengembalikan secara instant energi kita yang terkuras seharian. Tetapi usahakan menghindari minum es atau yang bersoda, karena jenis minuman ini dapat membuat pencernaan tak berfungsi secara normal.

3. Makanlah Secara Bertahap
Biasanya begitu mendengar bedug magrib, tanpa tunggu lagi kita langsung menyantap habis hidangan yang disediakan diatas meja. Ini bukanlah pola yang bagus untuk kesehatan, setelah seharian perut kita tak terisi dan organ cerna beristirahat, sebaiknya jangan langsung menyantap hidangan dalam jumlah besar. Saat tiba waktu berbuka makan makanan manis, seperti kolak, atau minum teh hangat, istirahatkan sesaat, bisa Anda gunakan jeda itu untuk menjalankan sholat magrib sambil memberi waktu organ cerna kita menyesuaikan. Baru setelah sholat Anda dapat lanjutkan kembali makan makanan yang lebih berat seperti nasi dan lauk-pauknya. Dan setelah Tarawih dilanjutkan lagi dengan sesi makan kecil atau camilan.

4. Jangan Tinggalkan Olahraga
Menjalankan puasa bukan berarti berhenti total berolahraga. Justru aktivitas fisik tetap dibutuhkan untuk menjaga kelancaran peredaran darah agar kita tidak mudah loyo. Namun untuk urusan ini pilih olahraga ringan yang tak membutuhkan energi berlebih, seperti lari-lari kecil atau jalan kaki. Sebaiknya lakukan olahraga menjelang waktu berbuka. Tarawih selain ibadah juga sebagai sarana menjaga kebugaran jasmani karena saat melakukan sholat tarawih sama dengan membakar kalori.

5. Konsumsi Cukup Air
Air merupakan zat yang sangat dibutuhkan tubuh. Lebih dari 60 % tubuh kita terdiri dari air. Untuk menjalankan fungsinya dengan baik setiap organ tubuh kita membutuhkan air. Tanpa air yang cukup tubuh akan mengalami gangguan. Untuk itu perbanyak minum air untuk simpanan dalam tubuh supaya semua organ berfungsi dengan baik. Yang disebut air disini bukan hanya berupa air putih, tapi susu dan teh pun juga termasuk di dalamnya. Supaya kebutuhan tubuh tercukupi, aturlah agar Anda minum delapan gelas air sebelum menjalani puasa esok hari.

6. Kendalikan Emosi
Rasulallah bersabda bahwa puasa itu bukan hanya menahan lapar dan dahaga tetapi juga menahan nafsu. Dengan kata lain tujuan puasa adalah me-manage emosi, belajar bersabar dan berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Secara psikologis ini mempengaruhi mental-spiritual kita, dengan mengendalian emosi membuat jiwa kita
tumbuh lebih sehat, dan merasakan kedekatan dengan Allah membuat hati kita damai.



Selengkapnya...

Hukum-Hukum Seputar Ibadah Shaum

Dalil kewajiban shaum.


فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Siapa saja di antara kalian yang melihat hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah. (QS al-Baqarah [2]: 185).


Dalil shaum juga didasarkan pada hadis penuturan Ibn Umar ra. yang menyatakan:


«اَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهاَدَةِ اَنْ لاَ الَهَ اِلاَّ اللهُ، وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَاِقاَمِ الصَّلاَةِ، وَاِيْتاَءِ الزَّكاَةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضاَنَ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; beribadah haji; dan shaum Ramadhan.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).


Shaum wajib Bagi yang Balig dan Berakal

Karena itu, secara pasti shaum merupakan kewajiban setiap Muslim yang telah balig dan berakal. Dalam hal ini, anak-anak dan orang gila tidak wajib untuk berpuasa. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:


«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الصَّبِي حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ»

Telah diangkat pena (taklif hukum) atas tiga orang: dari anak kecil hingga balig; dari orang yang tidur hingga dia bangun; dan dari orang gila hingga ia waras. (HR Abu Dawud).


Wanita Haid dan Nifas Tidak Wajib Puasa


Wanita haid dan nifas juga tidak wajib berpuasa, karena puasa bagi mereka adalah tidak sah. Jika mereka telah suci dari haid maka mereka wajib meng-qadha’ puasa yang ditinggalkannya. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:


«فِي الْحَيْضِ كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ»

Karena haid, kami telah diperintahkan untuk meng-qadha’ shaum, tetapi kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ shalat. (HR Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).


Siapa Yang Diwajibkan Mambayar Fidyah ?


Siapa saja yang tidak kuasa untuk berpuasa karena suatu kondisi tertentu, seperti orang yang sudah sangat tua/lanjut usia, yang menjadikan shaum baginya sangat berat, lalu orang yang sakit yang penyakitnya tidak mungkin disembuhkan, maka mereka juga tidak wajib untuk berpuasa; tetapi mereka wajib untuk membayar fidyah sebagai gantinya. Ketetapan ini didasarkan pada firman Allah SWT:


وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Tidaklah Allah menjadikan di dalam agama ini suatu hal yang berat/kesempitan bagi kalian. (QS al-Hajj [22]: 78).


Allah SWT juga berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Bagi orang-orang yang menanggung beban berat dalam berpuasa, mereka wajib memberikan fidyah, yakni memberi makan orang miskin. (QS al-Baqarah [2]: 184).


Ada juga hadis penuturan Ibn Abbas bahwa Nabi saw. pernah bersabda:


«وَمَنْ اَدْرَكَهُ الْكِبَرُ فَلَمْ يَسْتَطِعْ صِيَامَ رَمَضاَنَ فَعَلَيْهِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدًّ مِنْ قَمْحٍ»

Siapa saja yang telah mencapai usia lanjut, lalu dia tidak kuasa untuk melaksanakan puasa Ramadhan, maka ia wajib untuk mengeluarkan satu mud gandum setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).


Ibn Umar ra. juga menuturkan hadis:


«اِذَا ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ اَطْعِمْ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا»

Jika seseorang lemah dalam melaksanakn shaum, hendaknya ia memberikan makan kepada orang miskin satu mud setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).


Dari Anas ra. juga dikatakan:


«أَنَّهُ ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ عَامًا قَبْلَ وَفاَتِهِ فَافْطَرَ وَاَطْعَمَ»

Ia tidak berdaya untuk melaksanakan shaum sepanjang tahun sebelum wafatnya, lalu ia berbuka dan memberi makan makan orang miskin. (HR ath-Thabrani dan al-Haitasmi).


Siapa Yang diwajibkan Qodho Puasa ?


Jika seseorang tidak kuasa untuk berpuasa karena sakit dan ia khawatir sakitnya bertambah parah, ia juga tidak wajib untuk berpuasa, karena di dalamnya ada rasa berat sehingga dia boleh berbuka. Kemudian, jika dia sembuh maka dia wajib untuk meng-qadha’-nya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:


فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Siapa saja di antara kalian yang sakit, atau dalam perjalanan, maka hendaknya ia mengganti puasanya pada hari yang lain sejumlah yang ditinggalkannya. (QS al-Baqarah [2]: 184).


Jika seseorang sedang berpuasa, lalu ia jatuh sakit, ia boleh berbuka, karena keadaan sakit memang membolehkan seseorang yang berpuasa untuk berbuka.


Bagaimana Shaum Bagi yang Safar (melakukan Perjalanan ) ?

Sementara itu, berkaitan dengan seorang musafir, jika safar yang dilakukannya tidak mencapai empat barid atau 80 kilometer, ia wajib tetap berpuasa; ia tidak boleh berbuka. Alasannya, karena safar/perjalanan yang menghasilkan adanya rukhshah (keringanan) untuk berbuka adalah safar syar‘i (bukan semata-mata safar, peny.), yakni empat barid, yang setara dengan 80 km. Jika seorang musafir melakukan safar sejauh 80 km atau lebih maka ia boleh untuk tetap berpuasa dan boleh juga berbuka. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:

`

«اِنَّ حَمْزَةَ اِبْنِ عَمْرُوْ اْلاَسْلَمِي قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَأَصُوْمُ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَاِنْ شِئْتَ فَاَفْطِرْ»

Sesungguhnya Hamzah bin Amr al-Islami pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, “Perlukah aku berpuasa di dalam perjalanan?” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Jika engkau mau, berpuasalah. Jika engkau mau, berbukalah.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ashab as-Sunan).


Berpuasa Bagi Yang Safar Lebih Utama ?

Bagi musafir yang puasanya tidak menjadikan dirinya merasa berat/sempit maka tetap berpuasa adalah lebih utama. Sebab, Allah SWT telah berfirman:


وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ

Berpuasa itu adalah lebih baik bagi kalian. (QS al-Baqarah [2]: 184).


Sebaliknya, jika puasanya ternyata telah membebani dirinya, maka dia lebih utama untuk berbuka. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Jabir ra. sebagai berikut:


«مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ بِرَجُلٍ تَحْتَ شَجَرَةٍ يُرَشُ عَلَيْهِ الْماَءُ فَقَالَ: مَا بَالَ هَذَا؟ قَاُلْوا: صَائِمٌ. فَقَالَ: لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ»

Dalam sebuah perjalanan Rasulullah saw. pernah melewati seorang laki-laki yang sedang berteduh di bawah pohon sambil menyiramkan air ke tubuhnya. Beliau lalu bertanya, “Mengapa orang ini?” Para Sahabat menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Mendengar itu, Beliau kemudian bersabda, “Tidak baik berpuasa dalam perjalanan.” (HR an-Nasa’i).


Bagaimana Qodho Wanita Hamil ?

Adapun wanita hamil dan menyusui, mereka boleh untuk berbuka, lalu meng-qadha’-nya di luar bulan Ramadhan, baik karena ia khawatir atas dirinya, khawatir atas dirinya dan bayinya, atau semata-mata khawatir atas bayinya; atau bahkan ia tidak memiliki kekhawatiran apapun. Pasalnya, kebolehan wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa semata-mata didasarkan pada statusnya sebagai wanita hamil dan menyusui, tanpa memandang apakah yang bersangkutan memiliki kekhawatiran ataukah tidak (akan kondisi dirinya dan bayinya, peny.). Ketentuan ini didasarkan pada apa yang telah dikukuhkan oleh hadis Nabi saw. dalam Ash-Shahihayn, sebagaimana dituturkan oleh Anas bin Malik al-Ka‘bi. Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:


«اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحاَمِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ»

Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan keringanan bagi musafir dalam shaum dan sebagian shalatnya, sementara keringanan bagi wanita hamil dan menyusui adalah dalam shaumnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).


Hadis di atas tidak memberikan batasan tertentu terkait dengan kebolehan seseorang untuk tidak berpuasa. Hadis tersebut bahkan menyebutkan kebolehan itu secara mutlak bagi wanita hamil dan menyusui, semata-mata karena statusnya sebagai wanita hamil dan menyusui.

Lalu terkait dengan kewajiban wanita hamil dan menyusui untuk meng-qadha’ shaum yang ditinggalkannya, hal itu didasarkan pada alasan bahwa mereka memang wajib untuk berpuasa. Ketika mereka memutuskan untuk tidak berpuasa, maka puasa menjadi utang bagi mereka, yang tentu wajib dibayar dengan cara di-qadha’. Ketetapan ini didasarkan pada hadis penuturan Ibn Abbas ra. yang menyatakan:


«اِنَّ اِمْرَأَةً قاَلَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ، اَنِّ اُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذَرٍ، أَفَاَصُوْمُ عَنْهَا؟ فَقاَلَ: اَرَأَيْتَ لَوْكاَنَ عَلَى اُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِهِ اَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكَ عَنْهَا؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: فَصُوْمِي عَنْ اُمِّكِ»

Seorang wanita pernah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah saw., ibuku telah meninggal, sementara ia masih memiliki kewajiban berpuasa nadzar. Perlukah aku berpuasa untuk membayarkannya?” Rasul menjawab, “Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki utang, lalu engkau membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi utangnya?” Wanita itu menjawab, “Tentu saja.” Rasul lalu bersabda, “Karena itu, berpuasalah engkau untuk membayar utang puasa ibumu.” (HR Muslim).


Kemudian, tidak adanya kewajiban atas wanita hamil dan menyusui untuk membayar fidyah, hal itu karena dalam hal ini memang tidak ada nash yang menunjukkannya.


Bagaimana Keharusan merukyat hilal bulan Ramadhan.?

Shaum Ramadhan hanya diwajibkan atas kaum Muslim saat sudah terlihat hilal (bulan sabit tanggal 1) bulan Ramadhan. Jika pada saatnya hilal Ramadhan terhalang dari pandangan manusia, maka kaum Muslim wajib menggenapkan bilangan bulan Sya‘ban (menjadi 30 hari), lalu besoknya mereka harus sudah mulai berpuasa. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Ibn Abbas ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda:


«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ، وَلاَ تَسْتَقْبِلُوْا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالاً»

Berpuasalah kalian karena merukyat hilal dan berbukalah kalian (mengakhiri puasa Ramadhan, peny.) juga karena melihat hilal (bulan sabit tanggal 1 Syawal, peny.). Jika hilal terhalang dari pandangan kalian maka genapkanlah bilangan bulan Sya‘ban. Janganlah kalian kalian menyambut bulan itu (dengan berpuasa, peny.). (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ahmad, dan ad-Darimi).


Haruskah Shaum didahului niat ?.

Shaum Ramadhan, sebagaimana juga shaum-shaum lainnya, hanya dipandang absah jika didahului dengan niat. Dasarnya adalah sabda Nabi saw.:


«اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ»

Sesungguhnya amal ibadah itu bergantung pada niatnya. (HR Muslim).


Niat wajib dilakukan setiap hari selama bulan Ramadhan. Pasalnya, shaum pada masing-masing hari merupakan ibadah yang berdiri sendiri, yang waktunya dimulai dari terbit fajar dan diakhiri saat matahari terbenam. Shaum pada hari ini tidak bisa ikut-ikutan rusak oleh rusaknya puasa pada hari-hari sebelumnya maupun hari-hari sesudahnya. Karena itulah, tidak cukup satu niat untuk berpuasa sebulan penuh. Akan tetapi, niat harus dilakukan setiap hari.


Kapan Niat Dilakukan

Sahum Ramadhan ataupun shaum-shaum wajib lainnya tidak sah dilakukan jika niatnya baru dilakukan siang hari. Niat shaum wajib dilakukan pada malam hari. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Hafshah:

«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لَمْ يَبِيْتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ»

Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang tidak berniat puasa pada malam hari maka tidak ada puasa baginya.” (HR an-Nasa’i dan ad-Darimi).


Niat boleh dilakukan pada bagian malam manapun sejak terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar karena seluruhnya termasuk bagian dari malam hari.


Bagaimana Dengan Niat Shaum Sunnah ?

Adapun niat shaum sunnah boleh dilakukan setelah terbit fajar sebelum matahari tergelincir. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:


«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَصْبَحَ اليَوْمُ، عِنْدَكُمْ شَيْءٌ تُطْعِمُوْنَ؟ فَقَالَتْ: لاَ. فَقَالَ: اِنِّي إِذًا صَائِمٌ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bertanya, “Apakah pagi ini ada sesuatu (makanan) untuk kalian makan?” Aisyah menjawab, “Tidak ada.” Nabi saw. kemudian berkata, “Kalau begitu, aku akan berpuasa saja.” (HR Ahmad).


Niat shaum Ramadhan juga harus ditentukan. Artinya, seseorang yang hendak berpuasa harus menyatakan diri bahwa ia memang berniat untuk shaum Ramadhan pada hari itu, karena ia merupakan bentuk taqarrub kepada Allah yang terkait dengan waktu pelaksanaannya. Hanya saja, niat tidak mesti dinyatakan secara verbal, tetapi cukup dengan adanya maksud di dalam kalbu. Niat juga hanya dianggap sah jika secara pasti dimaksudkan untuk melaksanakan shaum Ramadhan pada hari tertentu karena menentukan niat pada masing-masing hari adalah wajib.


Kapan Waktu pelaksanaan shaum?.

Waktu pelaksanaan shaum dimulai sejak terbit fajar, yakni fajar shâdiq (waktu subuh) dan diakhiri dengan terbenamnya matahari (saat magrib). Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Umar ra:


«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِذاَ أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَاَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا وَغَابَتِ الشَّمْسُ مِنْ هَاهُنَا فَقَدْ اَفْطَرَ الصَّائِمُ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Jika malam telah datang dari sini, siang telah berakhir dari sini, dan matahari pun sudah tenggelam, maka orang-orang yang berpuasa berbuka saat itu. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).


Allah SWT juga berfirman:


(وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ

Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian putih-hitamnya sang fajar, lalu sempurnakanlah shaum hingga tiba waktu malam. (QS al-Baqarah [2]: 187).


Jika seseorang yang sedang berpuasa makan dan minum, sementara dia ingat bahwa dia sedang berpuasa, dan dia pun tahu bahwa makan-minum itu haram saat puasa, maka batallah puasanya, karena ia melakukan perkara yang dilarang dalam puasa tanpa ada uzur.


Bagaimana Meneteskan Obat Ke Dalam Hidung ?

Jika orang yang sedang berpuasa meneteskan obat ke dalam hidung atau memasukkan air ke lubang telinganya hingga sampai ke otaknya, batallah puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Luqaith bin Shabrah ra. yang menyatakan:


«قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ، اَخْبِرْنِي عَنِ الْوُضُوْءِ. قَالَ: اَسْبِغِ الْوُضُوْءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ اْلاَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشاَقِ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا»

Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw., beritahulah aku tentang cara berwudhu.” Beliau bersabda, “Sempurnakanlah wudhu, renggangkalah jari-jemari, optimalkanlah menghirup air lewat hidung (ber-istinsyâq), kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).


Berkaitan dengan hadis di atas, pemahaman kebalikan (mafhûm mukhâlafah)-nya adalah larangan untuk tidak secara optimal (banyak-banyak) ber-istinsyâq saat berpuasa hingga tidak ada sedikit pun air yang sampai ke otak. Ini berarti, adanya air yang sampai ke otak adalah haram bagi orang yang berpuasa dan membatalkan puasanya. Makan, minum, menghirup sesuatu melalui hidung, dan meneteskan air ke dalam lubang telinga pengertiannya meliputi memasukkan apa saja; baik yang biasa dimakan dan diminum seperti nasi, air, tembakau, dan sejenisnya; ataupun yang biasa diteteskan melalui hidung, telinga, dan sejenisnya. Semua ini membatalkan puasa.


Bagaimana Hubungan Suami Istri Saat Shaum ?

Orang yang sedang berpuasa juga dilarang melakukan hubungan suami-istri. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ

Sekarang, campurilah mereka. (QS al-Baqarah [2]: 187).


Ayat ini menunjukkan, bahwa mencampuri istri tidak dibolehkan sebelum sekarang ini, yakni pada siang hari bulan Ramadhan. Apabila yang dicampuri itu kemaluan maka batallah puasa. Jika yang dicampurinya selain kemaluan, atau sekadar mencium tetapi sampai membuat keluar air mani (sperma), maka batal pula puasa seseorang; tetapi jika tidak sampai membuat keluar sperma maka puasanya tidak batal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Jabir ra. sebagai berikut:


«قَبَلْتُ وَاَنَا صَائِمٌ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: قَبَلْتُ، وَاَنَا صَائِمٌ. فَقاَلَ: اَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ وَاَنْتَ صَائِمٌ»

Aku pernah mencium (istriku) saat sedang berpuasa. Aku lalu menjumpai Nabi saw., kemudian bertanya, “Aku telah mencium (istriku), sementara aku sedang berpuasa.” Rasul saw. lalu bersabda, “Bagaimana pendapatmu jika engkau berkumur pada waktu engkau berpuasa?” (HR Ahmad).


Dalam hadis ini. Nabi saw. telah menyerupakan aktivitas mencium dengan berkumur; jika air sampai tertelan, batallah puasa seseorang; sedangkan jika tidak maka puasanya tidak menjadi batal. Demikian pula halnya dengan mencampuri istri pada selain kemaluan atau sekadar menciumnya.

Batalkah Orang Yang Sengaja Muntah ?

Jika seorang yang sedang berpuasa dengan sengaja membuat dirinya muntah maka batallah puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra.:


«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang telah memancing dirinya agar muntah dengan sengaja, ia wajib meng-qadha’ puasanya. Siapa saja yang muntah (tanpa disengaja), ia tidak wajib mengqadha’ puasanya.’” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Bagaimana Kalau Lupa ?

Semua hal di atas jika dilakukan/terjadi dengan catatan, yakni jika orang yang berpuasa melakukannya dengan sengaja. Adapun jika ia melakukakannya karena lupa maka puasanya tidak menjadi batal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:


«مَنْ اَفْطَرَ فِي شَّهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضاَءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفاَرَةَ»

Siapa saja yang berbuka pada bulan Ramadhan karena lupa, ia tidak wajib meng-qadha’ dan tidak wajib pula membayar kafarah. (HR at-Tirmidzi).


Ketentuan di atas juga dirdasarkan pada hadis riwayat al-Bukhari dari Nabi saw. yang pernah bersabda:


«اِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ اَوْشَرَبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَاِنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ»

Jika seseorang yang sedang berpuasa lupa sehingga dia makan atau minum maka sempurnakanlah (lanjutkanlah) puasanya. Sebab, itu hanyalah kehendak Allah yang (dengan sengaja) telah memberinya makan dan minum. (HR al-Bukhari Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).

Bagaimana Melakukan Hubungan Suami Istri Padahal Sudah Terbit Fajar ?

Jika seseorang makan atau melakukan hubungan suami-istri dengan alasan karena dia menduga bahwa fajar belum terbit, padahal ternyata fajar telah terbit, atau ia mengira bahwa matahari telah terbenam, padahal matahari belum terbenam, maka batallah puasanya dan ia wajib meng-qadha’-nya. Ketetapan ini didasarkan pada hadis penuturan Hanzhalah ra. yang mengatakan:


«كُنَّا بِالْمَدِيْنَةِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَفِي السَّمَاءِ شَيْءٌ مِنَ السَّحَابِ. فَظَنَّناَ أَنَّ الشَّمْسَ قَدْ غَابَتْ فَاَفْطَرَ بَعْضُ النَّاسِ فَاَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ كَانَ قَدْ اَفْطَرَ اَنْ يَصُوْمَ يَوْمًا مَكَانَهُ»

Saat kami berada di Madinah pada bulan Ramadhan, ketika langit dalam keadaan berawan, kami mengira matahari telah terbenam. Lalu sebagian orang berbuka. Karena itu, Umar ra. menyuruh agar orang yang terlanjur berbuka untuk berpuasa pada hari lain sebagai penggantinya. (HR al-Baihaqi dan al-Haitsami).


Ketetapan ini juga didasarkan pada hadis penuturan Hisyam bin Urwah dari Fathimah, istrinya, dari Asma’ yang mengatakan:


«اَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ. قِيْلَ لِهِشاَمِ: اُمِرُوْا بِالْقَضَاءِ. قَالَ: لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ»

Pada masa Rasulullah saw. kami pernah berbuka saat langit dalam keadaan mendung, kemudian matahari masih tampakt. Kepada Hisyam dikatakan, “Mereka disuruh meng-qadha’ puasa.” Dia lalu berkata, “Tentu saja harus meng-qadha’ puasa.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Bagaimana Orang yang Berbuka Tanpa Uzur ?

Siapa saja yang berbuka pada siang hari bulan Ramadhan tanpa uzur, ia wajib meng-qadha’ puasanya. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:

«مَنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ»

Siapa saja yang memancing dirinya agar muntah, ia wajib meng-qadha’-nya. (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).


Nabi saw. juga pernah bersabda:


«فَدَيْنُ اللهِ اَحَقُّ بِالْقَضَاءِ»

Utang kepada Allah lebih layak untuk dibayar. (HR Muslim).


Bagaimana yang melakukan hubungan suami istri tanpa uzur ?


Adapun orang yang berbuka karena melakukan hubungan suami-istri tanpa uzur, maka di samping wajib meng-qadha’ puasanya, ia juga wajib membayar kafarah. Pasalnya, Nabi saw. sendiri telah menyuruh orang yang menyetubuhi istrinya pada siang hari bulan Ramadhan agar meng-qadha’ puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra.:


«جَاءَ رَجُلٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: وَمَا اَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ. فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ اَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ،.قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ ماَ تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لاَ. ثُمَّ جَلَسَ فَاَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقِ فِيْهِ تَمَرٌ فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا. فَقَالَ: أَعَلَى اَفْقَرِ مِنَّا فَمَا بَيْنَ ِلاِبْتِيْهَا اَهْلَ بَيْتِ اَحْوَجَ اِلَيْهِ مِنَّا؟ فَضَحَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ, ثُمَّ قَالَ: اِذْهَبْ فَاَطْعِمْهُ اَهْلَكَ»

Seorang laki-laki pernah menjumpai Nabi saw. Ia lalu berkata, “Celakalah aku, wahai Rasulullah!” Rasul kemudian bertanya, “Apa yang telah mencelakaknmu?” Dia menjawab, “Aku telah bersetubuh dengan istriku saat siang hari pada bulan Ramadhan.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki harta yang dapat memerdekakan hamba sahaya?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki harta yang bisa memberi makan kepada enam puluh orang miskin?” Dia menjawab, “Tidak juga.” Kemudian dia duduk, sementara Nabi saw. datang dengan membawa bakul besar yang penuh dengan kurma. Setelah itu, Nabi saw. bersabda, “Bersedekalah engkau dengan kurma ini!” Namun, orang itu berkata, “Apakah kepada orang yang paling fakir di antara kami? Sungguh, tidak ada di daerah kami penduduk yang lebih membutuhkan kurma ini daripada kami sekeluarga.” Mendengar itu, Nabi saw. tertawa hingga gigi taringnya tampak. Beliau kemudian bersabda, “Kalau begitu, pulanglah. Lalu beri makanlah keluargamu dengan kurma ini!” (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).


Inilah kafarah wajib yang harus ditunaikan oleh orang yang berbuka pada siang hari bulan Ramadhan dengan menggauli istrinya secara sengaja.


Bagaimana Hukum Makan Sahur ?

Orang yang berpuasa disunnahkan untuk makan sahur. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Anas ra.:


«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَسَحَّرُوْا فَإِنًّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Makan sahurlah kalian karena dalam sahur itu terkandung berkah.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad dan ad-Darimi).


Apa Sunnah Berbuka ?

Orang yang berpuasa juga disunnahkan berbuka dengan makan kurma. Jika kurma tidak ada, ia disunnahkan berbuka dengan minum air. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Salman bin Amir yang mengatakan:


«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذَا اَفْطَرَ اَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمَرٍ فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَاِنَّهُ طَهُوْرٌ»

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika seseorang di antara kalian berbuka, berbukalah dengan kurma; jika ia tidak mendapatkannya, berbukalah dengan air karena air itu suci.” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad dan ad-Darimi).


Bagaimana Sunnah Doa Berbuka ?

Selanjutnya, saat berbuka puasa seseorang disunnahkan untuk membaca doa berikut:


«اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ»

Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan berkat rezeki-Mu aku berbuka.


Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. yang mengatakan:


«كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَذَا صَامَ ثُمَّ اَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ»

Rasulullah saw. itu, jika berpuasa, lalu berbuka, Beliau biasa mengucapkan, “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan berkat rezeki-Mu aku berbuka.” (HR Abu Dawud).


Orang yang berpuasa Ramadhan juga disunnahkan untuk menyambung puasanya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Ayyub ra. berikut:


«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ اَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَالٍ كَانَ كَصِياَمِ الدَّهْرِ»

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian menyambungnya dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka ia seperti telah berpuasa sepanjang tahun. (HR Muslim).


Pada hari Arafah, selain jamaah haji disunnahkan berpuasa. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Qatadah ra.:


«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَوْمُ عَاشُوْرَاءَ كَفاَرَةُ سَنَةٍ وَصَوْمُ يَوْمَ عَرَفَةٍ كَفَارَةُ سَنَتَيْنِ سَنَةٌ قَبْلَهَا مَاضِيَةً وَسَنَةٌ بَعْدَهَا مُسْتَقْبَلَةً»

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Puasa Asyura adalah kafarah (dari dosa) satu tahun. Puasa Arafah adalah kafarah (dari dosa) dua tahun; satu tahun sebelumnya dan satu tahun berikutnya.” (HR Ahmad).


Puasa Asyura disunnahkan berdasarkan hadis Abu Qatadah di atas. Disunnahkan pula puasa pada hari sebelum Asyura, yakni tanggal sembilan Muharram. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Ibnu Abbas ra.:


«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَئِنْ بَقَيْتُ اِلَى قَابِلٍ َلأَصُوْمَنَّ الْيَوْمَ التَّاسِعَ»

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Andai aku masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada tanggal sembilan (bulan Muharram). (HR Ibn Majah dan Ahmad).


Dalam hadis riwayat Muslim, hadis di atas ditambah dengan kalimat berikut:


«فَلَمْ يَأْتِ الْعَامَ الْمُقْبِلَ حَتَّى تُوُفِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

Tahun depan belum juga tiba, Rasulullah saw. telah terlebih dulu wafat. (HR Muslim).


Hari Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram dan hari Tasu’a’ adalah hari kesembilan dari bulan tersebut.

Disunnahkan pula untuk berpuasa pada hari-hari putih (al-baydh), yakni puasa tiga hari pada tiap-tiap bulan. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. sebagai berikut:


«اَوْصَانِي خَلِيْلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ كُلَّ شَهْرٍ»

Kekasihku (Rasulullah) saw. pernah berwasiat kepadaku agar berpuasa tiga hari pada setiap bulan. (HR Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ahmad).


Puasa tiga hari ini boleh dilakukan pada hari apa saja tanpa harus ditentukan. Hanya saja, yang dianggap utama adalah pada tanggal 13, 14 dan 15. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Dzarr ra.:


«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثًا، فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشَرَةَ»

Rasulullah saw pernah bersabda, “Jika engkau berpuasa tiga hari dalam sebulan, berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).


Ketetapan di atas juga didasarkan pada hadis penuturan Jarir bin Abdillah dari Nabi saw. yang pernah bersabda:


«صِيَامُ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ مِِنْ كُلِّ شَهْرٍ صِيَامُ الدَّهْرِ، اَيَّامُ البَيْضِ، ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ»

Puasa tiga hari pada setiap bulan adalah puasa sepanjang tahun, yakni puasa hari-hari putih, adalah: tanggal 13, 14, dan 15. (HR Muslim, an-Nasa’i, Ahmad dan ad-Darimi).


Disunnahkan pula untuk berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra. yang mengatakan:


«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ اْلاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ»

Sesungguhnya Nabi saw. telah memilih waktu untuk berpuasa pada hari Senin dan Kamis. (HR at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
Selengkapnya...

Shaum Sunnah Enam Hari di bulan Syawal

Kebanyakan dari kaum muslimin sudah mengetahui bahwa salah satu ibadah sunnah yang dianjurkan untuk dilaksanakan setelah mengerjakan shaum di bulan Ramadhan adalah shaum enam hari di bulan Syawal. Salah satu dalil disyari’atkan shaum enam hari di bulan Syawal adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah :

“Barangsiapa melakukan shaum Ramadhan, kemudian melanjutkannya (shaum) enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti shaum selama setahun”. << Muslim : 1164>>


Bagaimana cara kaum muslimin melaksanakan shaum sunnah di bulan Syawal? Berikut ini beberapa cara yang dilakukan kaum muslimin dalam melaksanakan shaum enam hari di bulan syawal :


Dimulai saat 2-3 hari setelah Idul Fithri.

Biasanya orang yang memilih cara ini ingin sesegera mungkin melaksanakan shaum sunnah enam hari di bulan Syawal, apalagi nuansa bulan Ramadhan masih sedikit terasa (belum lama meninggalkan bulan Ramadhan), ditambah alasan khawatir rasa malas akan menghampiri jika mereka menunda shaum sunnah Syawal. Kebanyakan dari mereka melakukannya secara berturut-turut, sebagian lagi melakukannya secara acak.

Dimulai saat sepekan setelah Idul Fithri.

Biasanya orang yang memilih cara ini ingin menikmati hari raya berbuka selama kurang lebih sepekan setelah Idul Fithri. Atau ketika Idul Fithri hingga sepekan setelahnya mereka memiliki banyak kegiatan, seperti mengunjungi rumah saudara, kerabat, teman, atau relasi, dengan alasan itu mereka belum ingin menjalankan shaum sunnah Syawal. Setelah menikmati hari raya berbuka atau setelah mengerjakan kegiatan/kunjungan selama sepekan, barulah mereka mulai mengerjakan shaum sunnah enam hari di bulan Syawal. Sebagian dari mereka melakukannya secara berturut-turut, sebagian lagi melakukannya secara acak.

Dilakukan pada hari senin dan kamis pada bulan Syawal.

Mereka yang sudah terbiasa melaksanakan shaum sunnah pada setiap senin dan kamis, cenderung melaksanakan shaum Syawal pada setiap senin dan kamis jika mereka tidak ingin melakukannya secara berturut-turut. Sebagian dari mereka ada yang melaksanakannya sesegera mungkin setelah Idul Fithri, dan ada yang melaksanakannya mulai pekan kedua bulan Syawal.

Dimulai saat pertengahan bulan Syawal.

Biasanya mereka ingin memulai shaum sunnah bulan Syawal ketika terang bulan mulai terlihat (bukan karena ingin berubah menjadi werewolf dulu lho….^^). Karena terbiasa shaum sunnah pada tiap pertengahan bulan, mereka pun ingin memulai shaum sunnah Syawal pada pertengahan bulan. Sebagian lagi beralasan karena selama 2 pekan ini mereka ingin menikmati hari raya berbuka atau memiliki kegiatan yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Dimulai dari hari apa saja pada bulan Syawal.

Biasanya mereka ingin shaum sunnah Syawal pada hari apa saja yang mereka inginkan di bulan Syawal. Jika mereka ingin shaum, maka mereka akan shaum walaupun pada hari sebelumnya tidak memiliki rencana untuk shaum sunnah.

Sehari shaum sunnah, sehari tidak shaum (selang-seling).

Biasanya mereka ingin shaum sehari dan berbuka sehari, apalagi jika mereka terbiasa melakukan shaum dawud.




Dimulai pada pekan terakhir bulan Syawal.

Biasanya mereka mempunyai banyak kegiatan pada 3 pekan bulan Syawal, seperti menyelesaikan pekerjaan, mengunjungi keluarga/saudara/teman, atau qadha shaum Ramadhan (jika mereka memiliki hutang karena sakit, bepergian, haidh, atau alasan syar’i lainnya). Waktu yang paling pas untuk shaum sunnah Syawal bagi mereka adalah pekan terakhir pada bulan Syawal, dan tidak ada kata terlambat untuk berbuat ibadah/kebaikan.


Manakah di antara ke-7 cara itu yang paling baik dalam menjalankan ibadah shaum sunnah Syawal? Jawabannya : semuanya termasuk yang paling baik karena mereka sudah berusaha untuk melakukan ibadah shaum sunnah Syawal setelah sebelumnya melakukan ibadah shaum wajib Ramadhan. Mereka yang belum sempat menjalankan ibadah shaum sunnah enam hari pada bulan Syawal tahun ini juga tetap paling baik jika mereka sudah melaksanakan ibadah shaum wajib di bulan Ramadhan [Tentu saja yang wajib harus lebih dahulu dikerjakan dengan baik sebelum mengerjakan yang sunnah]. Sedangkan yang paling buruk adalah mereka yang sempat melewati bulan Ramadhan tetapi mereka menyia-nyiakannya dengan tidak mengerjakan kewajiban mereka sebagai muslim.


Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk terus melakukan ibadah wajib; kemudian setelah itu menyempurnakannya dengan ibadah/amalan sunnah yang kita ingin lakukan. Amiin.



Selengkapnya...

Arti Shaum

Seorang guru SMP saya dulu mengajarkan, kata “puasa” berasal dari istilah sansekerta, yaitu “paase”. Menurutnya, “paase” artinya “menyiksa diri”. Ini tentu tidak tepat untuk digunakan dalam ajaran Islam, karena Islam sama sekali tidak berorientasi pada kegiatan menyiksa diri.

Sansekerta berasal dari daerah India, di mana sebagian besar penduduknya beragama Hindu. Agama mayoritas ini tentu mempengaruhi budaya setempat. Wajar bila mereka mengenal kegiatan menyiksa diri, karena ada hal yang demikian dalam ajaran Hindu. Ada semacam pawai tertentu yang mereka adakan setahun sekali untuk memuja salah satu dewa mereka (saya sendiri lupa dewa yang mana). Pada pawai itu, mereka mendemonstrasikan kemampuan mereka untuk menghilangkan rasa sakit. Sekujur tubuh mereka ditusuk dengan jarum berbagai ukuran. Mereka percaya, dengan menyiksa diri, mereka akan lebih dekat kepada Tuhannya.

Prinsip yang sama tidak bisa digunakan dalam Islam. Allah adalah Rabb. Kata “Rabb”

berasal dari kata “tarbiyah” yang bermakna “bimbingan, pendidikan, pelatihan” dan berbagai kata yang menggambarkan makna kasih sayang. Allah tidak menginginkan penderitaan dalam hidup manusia. Allah juga tidak membutuhkan penderitaan kita. Allah tidak pernah menyuruh manusia melakukan sesuatu yang akan menyiksa dirinya.

Dengan demikian, kata “puasa” tidak lagi dapat digunakan untuk menggantikan kata “shaum”. Tidak ada manusia yang tersiksa karena melaksanakan shaum. Kalau pun ia merasa berat, itu hanya karena hawa nafsunya yang sulit dibendung.

Shaum dilaksanakan sejak subuh hingga maghrib. Di Indonesia, waktu menjalankan shaum relatif sama sepanjang tahunnya, yaitu sekitar 14 jam. Di daerah beriklim tropis, panjangnya siang dan malam relatif tetap sepanjang tahun. Namun di daerah beriklim subtropis, atau bahkan kutub, panjang siang dan malam bisa menjadi sangat ekstrem. Jika Ramadhan jatuh pada musim dingin, maka shaum akan sangat pendek, karena jarak antara subuh dan maghrib sangat dekat. Sebaliknya, jika Ramadhan jatuh pada musim panas, maka shaum akan sangat panjang, karena pada musim tersebut malam sangat pendek.

Meski demikian, tidak ada manusia yang tersiksa karena shaum. Tidak ada orang yang sampai mati karena shaum. Tidak makan selama tiga hari pun manusia masih dapat hidup, apalagi kalau hanya beberapa belas jam. Kewajiban shaum masih jauh dari potensi maksimal tubuh manusia, dan karenanya, tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan menyiksa diri.

Ada banyak keringanan dalam melakukan shaum. Wanita haid dan nifas tidak boleh melaksanakan shaum, karena mereka mengalami kehilangan darah cukup banyak, sehingga dikhawatirkan bisa merusak kesehatan jika mereka memaksakan untuk shaum. Untuk hal-hal yang membahayakan kesehatan, Islam bukan hanya menganjurkan untuk menjauhi puasa, namun bahkan melarangnya. Ini adalah bukti bahwa Allah tidak menghendaki penderitaan bagi manusia.

Orang yang berjihad pun tidak diwajibkan shaum. Demikian pula orang-orang yang sudah renta dan tak mampu lagi melaksanakannya. Orang-orang yang sakit pada bulan Ramadhan pun tidak perlu memaksakan diri untuk bershaum. Allah memberi keringanan pada mereka untuk melunasi ‘hutang’ shaum mereka di lain hari (ketika kondisi mereka telah memungkinkan) atau membayar semacam denda, misalnya bagi orang-orang tua yang diperkirakan tidak akan mampu lagi melaksanakan shaum.

Pada saat melaksanakan shaum, ada empat hal yang harus dilakukan oleh setiap Muslim, baik pada shaum Ramadhan atau pada hari-hari lainnya. Empat hal tersebut yaitu : (1) tidak makan, (2) tidak minum, (3) tidak berhubungan seks, (4) wajib mengendalikan diri.

Perlu dicatat, bahwa larangan untuk tidak makan, minum dan berhubungan seks hanya berlaku sejak subuh hingga maghrib. Setelah waktunya berbuka, maka ketiga hal tersebut menjadi halal kembali, sesuai ketentuan normalnya. Tentu saja tidak segala jenis makan, minum dan hubungan seks menjadi halal. Islam memiliki ajaran yang lengkap tentang segala hal, termasuk ketiga hal tersebut.

Poin keempat mewakili seluruh inti ajaran shaum. Inilah alasan mengapa Allah mewajibkan shaum minimal selama sebulan dalam setahun, yaitu pada bulan Ramadhan. Selain itu, Rasulullah saw. pun sangat menganjurkan umatnya untuk melaksanakan berbagai shaum sunnah. Salah satu shaum sunnah yang diajarkan oleh beliau adalah shaum pada setiap hari Senin dan Kamis. Shaum sunnah terbaik adalah shaumnya Nabi Daud as., yaitu sehari bershaum dan sehari tidak, demikian seterusnya.

Ketika bershaum, kita tidak disuruh untuk menahan lapar dan haus. Kita diperintahkan untuk mengendalikannya. Hal ini untuk memerdekakan diri kita dari kekangan rasa lapar dan haus itu sendiri. Kita sering melihat bangsa Eropa dan Amerika yang tubuhnya bagus-bagus di film-film, padahal itu tidak lebih dari beberapa persen saja dari seluruh penduduknya. Sebagian besar penduduknya tidak bisa mengendalikan berat badannya karena mereka dikendalikan oleh nafsu makannya. Ketika lapar sedikit, cemilan mereka adalah coklat. Mereka terbiasa memakan pizza atau masakan Cina yang bisa dipesan dengan telepon. Tentu tidak ada salahnya menyantap pizza atau masakan Cina, namun bila dilakukan nyaris setiap hari, maka dipastikan mereka akan menumpuk lemak di tubuh mereka sendiri.

Jika kita makan makanan secara berlebihan, maka pencernaan akan bekerja terlalu keras. Energi tubuh terkuras untuk mencerna makanan. Akibatnya, tubuh malah meminta tambahan makanan lagi, dan begitu seterusnya. Inilah sebabnya kita harus belajar mengendalikan nafsu makan, karena kebiasaan makan kita akan sangat tidak efektif jika kita membiarkannya begitu saja. Jika kita menuruti terus nafsu makan kita, maka kita akan kelebihan berat badan dan berbagai penyakit akan mampir ke tubuh kita.

Dengan shaum, Allah pun tidak melarang hubungan seks, apalagi hubungan suami istri yang sah. Allah tidak memandang seks sebagai sesuatu yang kotor, sepanjang hal tersebut dilakukan sesuai aturan. Bahkan Islam menganggap hubungan seks antara suami dan istri sebagai suatu bentuk ibadah. Islam juga memberikan tuntunan yang lengkap tentang hubungan seks. Sementara agama lain memandangnya hina, bahkan melarang orang-orang solehnya untuk berkeluarga, Islam justru menganjurkan setiap umatnya untuk menikah dan memiliki keturunan. Ini adalah sesuatu yang fitrah, dan Allah tidak akan melarang sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia.

Pada saat shaum, Allah memerintahkan manusia untuk mengendalikan hawa nafsunya, bukan menahannya. Kita akan tersiksa kalau kita menahan-nahan keinginan kita untuk makan, minum dan berhubungan seks, sambil menunggu-nunggu waktu maghrib. Ironisnya, inilah yang dilakukan oleh kebanyakan orang.

Yang sebenarnya diperintahkan Allah adalah mengendalikan semua keinginan tersebut. Kita tidak perlu panik. Tenang-tenang sajalah, karena toh kita bisa makan dan minum lagi nanti setelah maghrib. Kita juga tidak perlu resah, karena kita hanya perlu menghindari makan, minum dan hubungan seks selama beberapa jam saja, tidak sampai selama 24 jam, dan tidak sampai merusak kesehatan kita. Jika keinginan itu muncul, kita hanya perlu menyuruhnya untuk menunggu, itu saja.

Orang-orang yang menyiksa dirinya sendiri dengan menunggu-nunggu waktu berbuka tidak akan merasakan kenikmatan shaum yang sebenarnya. Sebaliknya, orang-orang yang dengan tenangnya mampu memerintahkan hawa nafsunya untuk menunggu barang sejenak, akan mampu menyibukkan dirinya dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, sehingga ia tidak terus-menerus dirongrong oleh hawa nafsu yang berusaha mengendalikan dirinya.

Kenikmatan shaum yang sebenarnya adalah ketika kita benar-benar mampu mengendalikan diri kita dan segala keinginan kita. Keinginan-keinginan tersebut tidak terlarang, namun mesti dikendalikan. Orang-orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri akan selalu berada dalam kesulitan. Sebaliknya, orang-orang yang berkuasa atas dirinya sendiri akan mampu beradaptasi dalam segala kondisi, sesulit apa pun.

Shaum bukan bertujuan untuk menyiksa diri. Tujuan shaum adalah untuk mencetak pribadi-pribadi yang bertaqwa, yaitu pribadi-pribadi yang tangguh dalam melaksanakan segala perintah Allah dan berhati-hati agar tidak melakukan apa-apa yang dilarang-Nya. Dan orang-orang tangguh itu tidak akan muncul dari golongan orang-orang yang tidak bisa mengendalikan diri.



Selengkapnya...

Makna Shaum

"Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian bershaum, sebagaiman telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa." (Q.S. Al-Baqarah [2] : 183)

Kewajiban shaum tidak perlu lagi dipertanyakan jika sudah melihat atau mendengar ayat yang sudah amat terkenal ini. Penjelasannya sangat solid dan tidak mengandung keraguan. Shaum adalah kewajiban yang dibebankan kepada semua manusia. Mau melakukannya atau tidak, itu urusan lain.

Saya pribadi enggan menggunakan kata "puasa", karena seorang guru dahulu pernah bercerita bahwa kata ini berasal dari sebuah kata dalam bahasa Sansekerta yang artinya "menyiksa diri". Setahu saya, konsep menyiksa diri tidak pernah termasuk dalam ajaran Islam. Islam hadir justru untuk menyelesaikan masalah, bukan untuk menambah-nambah beban. Lagipula, saya sudah melaksanakan shaum sejak usia 5 tahun, dan belum pernah merasa tersiksa. Kalau memang sakit ya tinggal berbuka saja.

Tidak ada hubungannya dengan menyiksa diri.

Arti kata "shaum" itu sendiri jauh berbeda dari konsep penyiksaan diri. Kaum ulama sepakat bahwa "shaum" maknanya adalah menahan diri. Saya pribadi lebih suka dengan istilah 'mengendalikan diri'. Ya, shaum itu memang intinya adalah pengendalian diri.

Mengapa harus dikendalikan? Jika sesuatu itu perlu dikendalikan, tentu karena sesuatu itu memiliki potensi untuk menimbulkan kerusakan. Kendaraan memerlukan rem karena memiliki potensi mengakibatkan kekacauan jika lepas dari kendali sang pengemudi. Hewan tunggangan perlu tali kekang sebagai pengendali agar tindak-tanduknya tidak membahayakan segala sesuatu di sekitarnya.

Salah besar kalau mengatakan bahwa shaum itu sekedar tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan seks (tentunya dengan pasangan yang sah). Gelandangan pun sering tidak makan dan tidak minum, tapi hal itu tidak disebut shaum. Shaum adalah suatu tindakan pengendalian diri ; bukan karena tidak mampu, tapi justru karena ia mampu.

Pengendalian diri tentu hubungannya erat sekali dengan makna sabar. Ali bin Abu Thalib ra. sangat mampu menebas leher musuhnya yang kurang ajar itu, tapi ia memilih untuk bersabar. Bukan karena beliau tidak mampu membunuh, namun justru karena ia mampu. Sabar sama sekali bukan sifatnya orang yang tidak berdaya atau terpaksa, karena memang sebenarnya manusia tidak pernah tidak punya pilihan.

Karena kesulitan hidup, kadang manusia tergoda untuk bunuh diri saja. Siapa pun mampu untuk bunuh diri, namun (alhamdulillaah) banyak yang memilih untuk sabar. Anda bisa memilih untuk menjadi pribadi yang buruk, namun hati kecil pasti tidak pernah bosan mengingatkan Anda untuk memperbaiki diri. Sabar adalah tindakan mengambil pilihan yang terbaik meskipun ia sangat mampu untuk membuat pilihan yang buruk namun menggoda hawa nafsunya.

Orang yang melaksanakan shaum pun bukan karena ia tidak punya uang untuk membeli makanan. Mereka melakukannya dengan kesadaran penuh, semata karena ibadah ini diwajibkan bagi manusia dan manfaatnya sangat berlimpah. Berlimpah manfaatnya, karena shaum memang bukan sekedar menahan lapar dan haus semata. Itulah sebabnya Rasulullah saw. pernah melontarkan sebuah sindiran nan tajam kepada mereka yang salah kaprah dalam memahami shaum :

"Betapa banyak orang yang bershaum, namun tidak mendapatkan apa-apa dari shaumnya selain rasa lapar." (H.R. Nasa'i dan Ibnu Majah)

"Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya." (H.R. Bukhari)

Maka jelaslah kini bahwa shaum adalah pengendalian diri total, baik pada tataran fisik, akal, maupun jiwa. Pada tataran fisik, kita menahan diri dari berbagai kenikmatan yang sebenarnya halal untuk kita nikmati. Pada tataran akal, kita berusaha mengendalikan segenap perbuatan kita dengan kekuatan rasio, bukan hawa nafsu. Pada tataran jiwa, kita belajar untuk memahami makna sabar yang sebenarnya.

Jangankan perbuatan dosa yang besar-besar, dusta yang 'kecil' saja sudah membuat Allah SWT enggan menerima shaum kita. Dengan demikian, jelaslah bahwa menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri tidak lebih dari sekedar kulit ari dari ibadah nan agung ini. Membatasi shaum pada makna fisik seperti ini adalah sebuah penyempitan makna yang tidak bisa dibiarkan.

Keterkaitan shaum dengan konsep pengendalian diri secara total akan terlihat jelas jika kita kembali pada ayat yang tertera di awal tulisan ini. Tujuan ibadah shaum sangat jelas dan tidak diperdebatkan oleh kaum ulama mana pun, yaitu : mencapai derajat taqwa.

Taqwa itu sendiri maknanya adalah "berhati-hati". Tentu saja yang namanya manusia, sehati-hati apa pun sesekali tergelincir juga. Sulit berharap akan ada manusia yang tidak pernah berbuat salah. Karena itu, yang dituntut hanyalah sikap kehati-hatiannya saja. Seorang sahabat menggambarkan taqwa seperti seseorang yang sedang berjalan di jalanan yang penuh duri. Sebuah penggambaran yang sangat indah.

Melangkah di jalan yang penuh duri, beling, paku, atau ranjau memang tidak boleh sembarangan. Kaki melangkah perlahan sambil berjinjit, mata bergerak cepat ke segala sisi demi kewaspadaan, semua indera menjadi peka, bahkan seluruh tubuh pun ikut beradaptasi dengan gerakan kaki yang berjinjit. Begitulah taqwa. Penuh perhatian, penuh kehati-hatian, penuh pengendalian.

Pengendalian diri secara total, itulah shaum.



Selengkapnya...

Kiat-Kiat Mengisi Ramadhan

- Memperlambat sahur dan mempercepat berbuka puasa
- Banyak melakukan infaq sodaqoh
- Tilawatul Qur’an (membaca Qur’an) serta mempelajarinya (tadabbur)
- Tingkatkan pemahaman agama dengan membaca tulisan2 atau buku2 Agama.
- Meningkatkan disiplin dan muroqobatullah (perasaan bahwa Allah mengawasi
kita)
- Hidupkan malam dengan shalat tarawih dan Qiyamullail
- Menjauhkan diri dari sebab2 yang dapat mendekatkan diri pada
kemaksiatan.seperti pergaulan, bacaan, tontonan.
- Memberikan makanan berbuka kepada orang-orang yang melakukan puasa,
terutama bagi mereka yang kesulitan seperti fakir miskin, orang2 yang berada dalam perjalanan.
- Berdzikir pada setiap kesempatan (duduk, berdiri dan berbaring)
- Membuat skala prioritas segala aktivitas yang dapat mendekatkan diri pada
Allah.

- Perbanyaklah aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan amal yang bersifat
sosial bagi orang2 yang lemah, fakir miskin, anak yatim, kegiatan dakwah dll
- Berusaha untuk saling menjaga hati dan sikap untuk menyempurnakan puasa
kita menjaga pandangan dan bagi wanita diharapkan untuk berpakaian lebih tertutup minimal selama bulan Ramadhan
- Beri’tikaf (berdiam diri dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah dan
menyempurnakan amal ibadah kita) terutama pada 10 malam terakhir.

Note :
Apabila mungkin tundalah aktivitas-aktivitas yang tidak berhubungan dengan
kegiatan ukhrawi di sepuluh terakhir Ramadhan dan prioritaskan waktu-waktu
ini
untuk banyak melakukan ibadah dengan penuh kekhusyuan.
Mengambil cuti kantor akan lebih baik pada hari-hari di sepuluh terakhir
Ramadhan sehingga ibadah dan bermunajad kepada Allah dapat diperhebat atau
untuk ber’itikaf di Mesjid

Dengan kita mengetahui keistimewaan yang begitu besar yang diberikan oleh
Allah pada bulan Ramdhan ini, kita berharap dapat bersama-sama mengisi Ramadhan ini dengan segala aktivitas yang dapat bernilai ibadah disisi Allah, karena
Ramadhan hanya datang sekali dalam setahun dan siapakah yang dapat menjamin bahwa kita masih diberi kesempatan oleh Allah untuk bisa meni’mati Ramadhan-Ramadhan yang akan datang, mungkin saja ramadhan ini adalah ramadhan terakhir bagi kita, untuk itu janganlah kita lewatkan kesempatan yang berharga ini, janganlah Ramadhan ini lewat dengan sia-sia, tanpa memberikan arti bagi kita, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah : “mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar
dan dahaga”. Semoga kita terhindar dari apa yang diisyaratkan Rasulullah tersebut.
(Wallahu’alam bishowab).

Alhaqqu mirrobik falaa takuu nanna minal mumtarin.



Selengkapnya...

Adab Dan Kiat Mengisi Ramadhan

Puasa yang baik dilakukan dengan motivasi karena Allah.
Semua amal ibnu Adam adalah untuknya, satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya sampai tujuh ratus kali lipat, Allah SWT berfirman: kecuali puasa, ia adalah untuk-KU, dan AKU yang akan membalasnya, sesungguhnya ia telah meninggalkan syahwatnya, makanannya, dan minumannya demi AKU, orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan, sekali waktu berbuka dan sekali lagi waktu bertemu Robbnya, sungguh bau tidak sedap mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi disisi Allah SWT daripada minyak misik. (lihat Shahih Bukhari hadits no: 1904, dan lihat Shahih Muslim hadits no: 163 bab keutamaan puasa dengan sedikit diringkas).
Disunnahkan bagi yang berpuasa agar memperlambat makan sahur, dan mempercepat berbuka.
Bersahurlah, sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkahan. (HR Muslim). Mintalah pertolongan dengan makan sahur agar dapat berpuasa disiang harinya, dan dengan tidur siang, agar dapat qiyamul-lail di malam hari. (HR Ala Hakim). Ada tiga hal yang dicintai Allah ‘Azza wa jalla: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan

meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika shalat. (HR Ath-Thabarani) . Manusia akan selalu dalam keadaan baik, selama mereka menyegerakan berbuka. (HR Muslim).
Berdo’a ketika berbuka.
Bagi orang yang berpuasa ketika ia berbuka, do’anya tidak ditolak (HR Ibnu Majah). “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan rizqi-Mu aku berbuka, kepada-Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku beriman, dahaga telah hilang, urat-uratpun telah membasah dan pahala telah Engkau tetapkan insya Allah ta’ala. Ya Allah yang Maha Luas karunia-Nya, ampunilah aku, segala puji bagi Allah, yang telah memberikan pertolongan kepadaku, sehingga aku dapat berpuasa dan yang telah memberikan rizqi kepadaku, sehingga aku dapat berbuka”.
Memberikan makanan untuk orang yang berbuka puasa.
“Barang siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi yang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa dan yang berpuasa itu tidak dikurangi pahalanya sedikitpun” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban) .
Menjaga mata, telinga dan lidah
Serta anggota-anggota tubuh lainnya dari perbuatan yang tidak ada faedahnya, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa. “Barang siapa yang tidak menjauhkan kata-kata dan perbuatan bohong, maka Allah tidak menerima puasanya”. (HR Bukhari). “Bisa jadi orang yang qiyamul-lail itu hanya mendapatkan meleknya saja dan bisa jadi orang yang berpuasa itu hanya mendapatkan lapar dan hausnya saja” (HR Ahmad, Ath-Thabarani dan Al Baihaqi dari Ibnu Umar, juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah dengan redaksi sedkit berbeda).
Memberikan perhatian yang lebih besar, baik moral ataupun material kepada keluarga dan sanak famili
Serta memperbanyak sedekah kepada fakir miskin. “Rasulullah saw adalah orang yang paling dermawan, dan beliau saw lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan, ketika bertemu Jibril ‘Alaihis-Salam, sungguh, kedermawanan beliau saat itu lebih kuat daripada angin yang bertiup” (HR Muttafaqun ‘alaih).
Meningkatkan kajian tentang Islam,
Tadarrus, tilawah dan tela’ah Al Qur’an, dzikir, do’a dan amal-amal kebajikan lainnya (QS Al Baqarah: 183 – 187). “Dan Jibril ‘Alaihis-Salam menjumpai nabi saw pada setiap malam bulan Ramadhan, dan beliau mengajaknya bertadarrus Al Qur’an”. (HR Muttafaqun ‘alaih).
I’tikaf pada ‘Asyrul Awakhir
(10 hari terakhir bulan Ramadhan) dan meningkatkan aktifitas ibadah pada hari-hari tersebut. “Nabi saw apabila memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam (dengan ibadah), beliau membangunkan keluarganya dan beliau menjauh dari istrinya”.
Meningkatkan kesadaran bermuroqobah
Merasa diawasi terus oleh Allah swt yang Maha Mengetahui, dan selalu menyadari bahwa diri kita tengah berpuasa, tengah beribadah dalam rangka mencapai ketaqwaan. “Dan agar kamu mengagungkan Allah sesuai dengan apa yang ditunjukkan kepadamu” (QS Al Baqarah: 185).
Pandai menentukan skala prioritas amal islami
Dengan mengutamakan amal-yang lebih penting, lebih banyak manfaatnya dan lebih cepat mengantarkannya ke syurga, baik berupa berjuang di jalan Allah dalam menegakkan kalimat-Nya ataupun berinfaq fi sabilillah, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya. Ketika orang-orang minta dispensasi dari berinfaq dan berjihad, Rasulullah saw bersabda: “Tidak bershodaqah, dan tidak berjihad? Jadi, dengan apa kamu ingin masuk syurga?



Selengkapnya...

10 Langkah Mengisi Ramadhan Bersama Anak

Hudzaifah.org - Shaum (puasa) Ramadhan adalah salah satu pilar dari Rukun Islam. Maka mendidik anak untuk berpuasa Ramadhan menjadi kewajiban keislaman yang integral bagi para orang tua. Para sahabat Rasul telah mendidik putra-putri mereka yang masih kecil untuk berpuasa. Seperti yang dituturkan shahabiyah Rubayyi' binti Mu'awwiz tentang bagaimana cara mereka mendidik anak-anak mereka berpuasa Asyura (sebelum diwajibkan puasa Romadhon): "...dan kami melatih anak-anak kami yang masih kecil untuk berpuasa. Kami bawa mereka ke masjid dan kami buatkan mereka mainan dari bulu. Apabila diantara mereka ada yang merengek minta makan, maka kami bujuk dengan mainan itu terus hingga tiba waktu berbuka." (HR. Bukhari Muslim).

Dari riwayat diatas, kita dapat mengetahui bahwa para sahabat memberikan perhatian yang serius dalam melatih putra-putri mereka untuk membiasakan berpuasa. Lantas apa yang dapat kita lakukan saat ini untuk meneladani tradisi sahabat tadi? Ada 10 panduan yang perlu kita perhatikan :

1. Melakukan pengkondisian menyambut Ramadhan dengan memberi bekalan pemahaman yang memadai tentang keutamaan Ramadhan. Jika pengkondisian ini dilakukan berulang-ulang sejak sebelum Ramadhan tiba, sangat mungkin akan tumbuh niat yang kuat pada anak untuk berpuasa Ramadhan.

2. Menyambut Ramadhan dengan keriangan dan keceriaan. Rasulullah telah menasehati Abdullah bin Mas'ud untuk menyambut Ramadhan dengan wajah yang berseri tidak cemberut. Jika kita perluas keceriaan tadi, dapat juga dengan cara memberi dekorasi yang khas pada kondisi rumah, sehingga anak semakin menyadari akan keistimewaan Ramadhan dibandingkan bulan lainnya. Hal ini akan menstimulus mereka untuk berpuasa. Dibuat sedemikian rupa sehingga bulan Ramadhan adalah hari-hari yang paling indah untuk dikenang sang anak hingga mereka remaja dan dewasa. Ini tentu akan lebih mudah tercapai jika ada peran serta masyarakat umum dan pemerintah dengan menghidupkan syiar-syiar Ramadhan di jalan raya, perkantoran, pabrik, media masa dan lain-lain.

3. Menata jam tidur anak-anak sehingga akan mudah bergairah saat bangun sahur. Waktu sahur sebaiknya diakhirkan (kira-kira satu atau setengah jam menjelang salat subuh) sebagaimana anjuran Rasulullah. Hikmahnya antara lain agar setelah sahur tidak terlalu lama menunggu waktu subuh.

4. Tidak meletakkan makanan, minuman dan buah-buahan secara terbuka, sehingga akan menggoda mereka untuk segera membatalkan puasanya. Makanan diletakkan pada tempat yang jauh dari perhatian mereka. Hal ini juga sepatutnya diperhatikan oleh restoran dan penjaja makanan dipinggir jalan.

5. Terhadap anak yang baru berlatih puasa (belum kuat dan gampang terpengaruh), sebaiknya mereka dijauhkan bermain dari anak-anak yang malas berpuasa. Dan didekatkan dengan anak-anak lainanya yang juga tekun berlatih. Ini perlu dilakukan agar mereka memperoleh rasa kebersamaan, bukan keterasingan karena puasanya.

6. Melatih berpuasa dengan bertahap dan menjanjikan hadiah sebagai rangsangan. Misalnya di awali dengan izin berbuka sampai jam 10, lalu jam 12 dan seterusnya sampai akhirnya penuh sampai waktu berbuka. Hadiahnya disamping penghargaan dan pujian sebagai anak yang sabar, juga dapat diberikan hadian lain yang beraspek mendidik berupa alat-alat belajar.

7. Stimulus dengan pahala dan surga dari Allah. Jadi hadiah materi diatas tak menutupi stimulus ganjaran Allah. "Jika kamu berpuasa, maka kamu ikut membuka pintu pahala dari Allah bagi orangtuamu yang telah mendidikmu untuk berpuasa". Anak akan senang karena sekaligus dapat berbuat sesuatu kebaikan untuk orangtuanya.

8. Memberi alternatif pengisian waktu yang tepat dan positif. Baik dengan istirahat tidur di siang panas, maupun dengan alternatif permainan yang mendidik untuk melupakan mereka dengan rasa haus dan lapar yang menyengat. Sebagaimana yang telah dilakukan shahabiyah di masa Rasul. Saat ini sudah ada pesantren Ramadhan untuk anak-anak dan remaja, ini juga alternatif kegiatan yang menyenangkan bagi mereka. Atau orangtua dapat juga bersepakat dengan anak-anaknya untuk memasang target, bahwa seusai bulan Ramadhan kemampuan mereka mengaji Al Quran harus lancar dan lebih baik. Perhatian kepada Al Quran memang harus lebih besar di bulan Ramadhan, karena Al Quran diturunkan pertama kali pada bulan ini. Dapat pula orang tua membacakan kisah-kisah keteladanan Islami, atau mendengarkan kaset-kaset cerita Islami.

9. Mengajak anak-anak untuk meramaikan syiar Ramadhan, seperti sholat tarawih berjamaah di masjid, mengaji dan mengkaji Quran, menyimak ceramah-ceramah agama, menyuruh mereka mengantar makanan ke masjid untuk orang yang berbuka puasa, lebih menggemarkan berinfak, shadaqah dan lainnya.

10. Khusus untuk para orang tua, jika mereka menyepelekan pendidikan puasa Ramadhan bagi anak-anaknya, maka mereka harus siap bertanggung jawab kepada Allah kelak di akhirat, jika putra-putrinya kemudian melalaikan kewajiban puasa Ramadhan. Oleh karena itu mereka harus memanfaatkan semaksimal mungkin pembiasaan puasa Ramadhan bagi anak-anaknya sejak dini. Dengan perhatian yang intens dan cara-cara yang bijak, niscaya dapat menggugah kesadaran anak-anak untuk berpuasa. Kesadaran itu tentu akan merupakan tabungan ibadah bagi para orang tua yang telah mendidik mereka.

Jika hal-hal di atas kita lakukan, maka Insya Allah keberkahan Romadhon akan turun ke setiap keluarga muslim



Selengkapnya...

Obama Sampaikan Pesan Ramadhan

Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Jumat, menyampaikan ucapan selamat menunaikan ibadah puasa kepada warga Muslim di Amerika dan dunia, yang mulai memasuki bulan suci Ramadhan 1430 H.

Obama juga menyatakan kembali keinginannya untuk memperbaiki hubungan antara AS dengan dunia Islam.

Dalam pesan yang disampaikannya melalui video dari Gedung Putih, Washington, DC, Obama menggambarkan betapa ia --kendati bukan beragama Islam-- cukup terbiasa dengan berbagai tradisi di kalangan masyarakat Muslim.

"Seperti orang-orang lainnya dari agama berbeda yang tahu soal Ramadhan melalui lingkungan masyarakat dan keluarga, saya tahu bahwa ini (Ramadhan, red) merupakan sebuah perayaan --saat keluarga berkumpul, teman-teman mengadakan acara buka puasa, dan berbagi makanan," kata Obama, yang sebagian masa kecilnya pernah dihabiskan di Indonesia --negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia.


"Tapi saya juga tahu bahwa Ramadhan adalah saat untuk menerapkan ketaatan dan refleksi --saat kaum Muslim berpuasa pada siang hari dan melakukan shalat tarawih pada malam hari, mengaji dan mendengarkan lantunan Al Quran selama satu bulan," tambahnya.

Ritual-ritual tersebut, katanya, mengingatkan semua pihak tentang prinsip-prinsip bersama dan peranan Islam dalam memajukan keadilan, toleransi dan martabat semua umat manusia.

Obama, sementara itu, menyatakan bahwa Amerika bertekad menjalankan tanggung jawabnya untuk membangun dunia yang lebih damai dan aman.

Karena itulah, kata Obama, AS berupaya mengakhiri perang di Irak, mengisolasi kalangan ekstremis yang melakukan kekerasan di Afghanistan dan Pakistan --dan pada saat yang bersamaan AS berupaya meningkatkan pemberdayaan masyarakat setempat.

"Karena itulah Amerika (juga) menegaskan dukungan kami bagi tercapainya penyelesaian dua-negara yang mengakui hak-hak rakyat Israel dan Palestina untuk hidup secara damai dan aman," ujarnya.

Semua upaya tersebut, katanya, merupakan bagian dari tekad AS untuk menjalin hubungan dengan dunia Islam dengan dasar saling menghargai.

"Saya ingin menegaskan kembali komitmen kami untuk membangun awal yang baru antara Amerika dan kaum Muslim di dunia," kata Obama.

Ia menyatakan harapannya bahwa dialog antara pihak-pihak tersebut akan berlanjut.

"Dan hari ini, saya ingin bergabung bersama 1,5 miliar Muslim di seluruh dunia --bersama keluarga dan teman-teman anda-- dalam menyambut dimulainya bulan Ramadhan... Semoga Tuhan memberkati Anda," ujar Obama menutup pesan Ramadhan



Selengkapnya...

Ramadhan, Korupsi, dan Kearifan Budaya

Ramadhan dalam dimensi kehidupan sejatinya tak hanya mampu membangun pribadi muttaqin sebagai manifestasi sikap seorang hamba kepada Sang Khalik, tetapi juga mampu menumbuhkembangkan kepekaan sosial terhadap sesama. Dalam aktivitas berpuasa selama Ramadhan, kita digembleng untuk bisa berempati terhadap nasib kaum dhua’afa yang terus dihimpit ketakberdayaan akibat beratnya persoalan hidup yang mesti ditanggungnya. Ibarat kawah candradimuka, Ramadhan bisa menjadi media yang tepat untuk membakar kecongkakan dan keangkuhan, hingga akhirnya menjadi pribadi yang rendah hati dan tidak kemaruk terhadap harta benda. Dengan kata lain, puasa di bulan Ramadhan tak hanya mampu membangun kesalehan secara personal, tetapi juga mampu menaburkan benih-benih kesalehan secara sosial.

Andai saja nilai-nilai keluhuran budi yang terpancar melalui aktivitas berpuasa ini bisa diterapkan dalam tataran praksis kehidupan, bukan tidak mungkin korupsi yang nyata-nyata telah membuat negeri ini bangkrut bisa diperangi, hingga akhirnya menjadi bangsa yang gemah ripah loh jinawi sebagaimana yang terilustrasikan dalam narasi dan kisah-kisah masa silam. Sungguh disayangkan, puasa di bulan Ramadhan agaknya telah berubah menjadi rutinitas ritual belaka yang dinilai telah kehilangan “roh” dan semangat religius. Puasa jalan terus, tetapi maksiat korupsi juga makin merajalela.

Puasa di bulan Ramadhan juga membawa pesan-pesan moral dan religi agar kita terus melakukan ikhtiar lahiriah dan batiniah untuk membangun kembali nilai-nilai kearifan budaya yang selama ini telah menguap akibat keasyikan kita memanjakan nafsu untuk berkuasa dan larut dalam pesona gebyar kemewahan. Kita lupa bahwa di negeri ini masih ada jutaan rakyat yang dicekik kemiskinan dan kelaparan. Kita juga gampang lupa terhadap petuah-petuah keagamaan yang terus menggema dari balik mimbar-mimbar khotbah yang rutin kita dengarkan. Kita juga gampang silau oleh gaya hidup konsumtif dan hedonistis, sehingga tega menilap harta negara yang jelas-jelas bukan miliknya.

Semoga pesan dan nilai-nilai kearifan budaya yang tersembunyi di balik puasa Ramadhan tahun ini sanggup membrangus akar-akar nafsu keduniaan yang menjalar dalam nurani dan batin kita. Selamat menjalankan ibadah puasa, mohon maaf lahir dan batin.



Selengkapnya...